Sunday, July 5, 2009

-14- selesai

Kini aku sudah resmi menjadi istri Ibnu Suryo dan menjadi ibu untuk kedua anak adopsiku. Di usiaku yang sudah kepala 4, suamiku nggak mau mengambil resiko kehilangan aku demi anak. Baginya, anak dari rahimku atau bukan adalah sama saja, asalkan anak-anak itu besar di tanganku.

Hm, suamiku memang sangat romantis, kan?

Dan mungkin kalian bertanya, mengapa aku nggak mempermasalahkan umur saat suamiku melamar saat itu. Asal tahu saja, aku tetap bertanya padanya tentang perbedaan umur kami yang terlalu jauh. Dan mengapa akhirnya dengan mantap aku bersedia menjadi istrinya? Kalian pasti nggak akan percaya.

Dia hanya bilang, “Rasulullah saja mau menikah dengan Siti Khadijah yang berbeda umur sangat jauh dari Beliau, kenapa aku yang manusia biasa sangat mempermasalahkan hal itu?”

Ya.

Aku jatuh cinta padanya. Aku sangat beruntung memilikinya. Biarlah mereka mengatakan hal-hal buruk soal pernikahanku ini, karena yang terpenting, aku memiliki orang yang aku cintai yang aku yakini benar, dia juga sangat mencintaiku…

Kini aku baru sadar, kalau cinta itu nggak selamanya hanya bikin aku nangis, tapi juga bisa membuatku ingin hidup lebih lama… dan lebih lama… dan lebih lama lagi… untuk bisa selalu bersama dengan suamiku. Kalau ternyata, cinta itu tak pernah salah tempat. Karena ternyata… cinta itu selalu datang tepat di saat kita paling membutuhkannya.

Aku tahu, hidupku memang lebih mirip dongeng Walt Disney daripada kenyataan, tapi asal kalian tahu, aku bercerita apa adanya. Memang sepertinya terlalu indah untuk menjadi kisah cinta yang nyata, tapi jika boleh aku merasa egois dan narsis, bukankah aku berhak untuk merasakan keindahan itu?

Aku yakin, sekarang, hidup ini memang sangat indah…

*

Surabaya, August 7, 2006

-13-

Ulang tahunnya yang ke-41. Dan dia memilih untuk merayakannya sendiri, bersama Mbok Darmi tentunya. Hari ini Mbok Darmi membuatnya bubur merah putih, seperti kebiasaan orang-orang Jawa saat mereka merayakan sesuatu, untuk mendoakan keselamatannya.

“Mbok, aku tidur dulu, ya? Besok kalau aku belum bangun-bangun juga, tolong digedor aja pintunya, okay?” Saila pamit ke kamar setelah makan dua mangkuk bubur merah putih dan mendapat ciuman sayang dari ibu keduanya itu.

Saila sedang tertidur lelap di atas ranjangnya ketika ia mendengar suara ketukan di pintunya dan suara Mbok Darmi dari balik pintu.

“Non… Non Saila…”

Saila mengerjap-erjapkan matanya. Masa, sih, dia baru tidur sebentar tapi hari sudah pagi? Nyenyak sekali tidurku… Saila melirik jam dindingnya lalu merasa heran. Sekarang baru pukul dua belas kurang. Artinya, Mbok Darmi mengetuk bukan untuk membangunkannya karena hari sudah siang!

“Khhheee…naapppaaa.. mmbbboookk…” tanya Saila sambil menguap.

“Mmm… ada tamu, Non.”

“Tamu? Siapa, Mbok? Aku ngantuk, nih… Bilang aku sudah tidur, deh. Aku nggak minat terima tamu semalam ini…”

“Tapi, Non… dia maksa…”

“Siapa yang berani maksa untuk ketemu malam-malam begini, Mbok?? Cuman orang kurang ajar yang…”

“Aku, Mbak. Aku yang kurang ajar ingin ketemu sama kamu semalam ini.”

Tiba-tiba Saila mendengar suara Ibnu di balik pintu dan membuatnya mencubit lengannya sendiri untuk meyakinkan dirinya kalau semua ini hanya mimpi. Begitu lengannya terasa sakit, baru dia merasa yakin kalau tadi benar-benar suara Ibnu!! Segera dia membuka pintu dan melihat lelaki tampan itu berdiri di sana, dengan pandangan kangen yang meletup-letup.

“Ibnu…? Kenapa kamu ke sini?” Suara Saila bergetar.

“Aku hanya memenuhi janjiku, Mbak. Dan aku nggak peduli, apapun yang terjadi, aku tetap harus melakukannya.” Ibnu menggenggam tangannya. Saila merasa hatinya semakin berdebar. “Mbak… sebetulnya, saat terakhir aku ke rumah ini, aku sudah berencana untuk bilang sama Mbak Saila kalau aku…. Mmm… aku sangat sayang sama Mbak Saila dan berharap Mbak Saila menjadi istriku….”

“Nu…”

“Mbak, tolong, untuk sekali ini, biarkan aku selesai bicara, ya?” Ibnu memotong kalimat Saila lalu melanjutkan kembali. “Saat itu Mbak Saila nggak memberi aku kesempatan untuk bilang kalau Ibu dan Bapak mau menerima keadaan kita… apapun itu. Mereka nggak peduli berapa umur Mbak Saila atau apapun latar belakang Mbak Saila. Selama aku bahagia dengan pilihanku, mereka juga bahagia, Mbak.”

“…”

“Saat itu aku berjanji untuk meminta Mbak jadi istriku setelah aku lulus kuliah dan menjadi karyawan tetap dengan gaji yang lumayan, apapun kondisi Mbak Saila saat itu, meskipun Mbak sudah menikah atau sedang bersama orang lain…” Ibnu memandangnya dengan sayang dan mempererat genggamannya. “Dan, Mbak… aku sudah lulus dan… sekarang aku bukan anak kuliahan lagi, tapi sudah menjadi staf tetap di biro hukum.”

Saila seperti tak bisa bernafas.

“Artinya… aku kemari, untuk memenuhi janjiku.” Ibnu merogoh sesuatu di dalam kantong celananya dan mengeluarkan cincin putih bermata satu lalu berlutut di depan Saila.

“Saila Retnani, maukah kamu menjadi istriku?”

-12-

“Kamu juga diundang, Sai?”

“Iya, malah dia sendiri yang mengantarkan undangannya ke rumah.”

“Maksudnya apa, sih? Tega bener…” Monita bersungut-sungut.

“Sudah, dong, Mon. Aku nggak kenapa-kenapa, kok. Aku malah bersyukur karena akhirnya dia mau menikah juga.”

“Tapi kurang ajar tuh, Sai, pakai acara mengundang segala dan mengirim undangannya langsung tanpa perantara! Memangnya dia lupa, ya, kalau dia sempat mau kawin sama kamu? Huh, tahu begini, aku malas terima tawaran Mas Gilang saat itu!”

Saila hanya tersenyum. “Mon, kamu nggak capek, apa, marah-marah terus sejak setahun yang lalu? Kan saat itu aku sudah bilang kalau Mas Didit akan lebih bahagia dengan perempuan yang bisa memberinya anak, bukan perempuan seperti aku yang rahimnya sudah mulai kering?” Saila tertawa.

“Ini nggak lucu, Sai.”

“Lucu, kok. Lihat. Buktinya aku tertawa…” Saila memegang pundak sahabatnya yang masih terlihat sewot. “Monita… ayo, dong, ketawa… Aku sendiri sudah lupa, kok, masa kamu yang bukan mantan pacarnya malah sewot nggak karuan seperti ini? Ayolah, Mon… Ceria sedikit, kenapa?”

Monita memajukan bibirnya beberapa senti, kebiasaannya setiap dia merasa kesal akan sesuatu. “Tapi harusnya Mas Gilang cerita, dong, kalau Mas Didit itu lagi dekat sama sekretarisnya… Masa, sih, dia nggak pernah curiga?”

“Hei, hei. Aku kan, sudah bilang, jangan dibahas lagi, please?”

“Iya, deh. Iya. Tahu, nggak, sih, Sai, sekarang aku jadi nggak minat untuk mencarikan kamu jodoh…”

“Haha, berarti itu kebetulan yang sangat menyenangkan, Mon!”

“Lho, maksudnya, selama ini kamu…”

“Hahaha.. iya, Mon! Aku beruntung punya sahabat seperti kamu, tapi tingkahmu yang sok jadi Mak Comblang itu bener-bener bikin kesal, tahu?” Saila menyentil hidungnya.

“Huh, dasar nggak jujur!” Monita tertawa. “Ya sudah, deh. Kita jalani hidup ini aja, ya, Sai? Sesuatu itu pasti akan datang dengan indah tepat pada waktunya. Mungkin memang belum waktunya kamu menemukan lelaki yang tepat itu…”

“Iya, Mon. Tapi mungkin saja, sebetulnya aku sudah menemukan lelaki yang tepat di saat yang salah?”

“… Kamu bicara soal Brondong itu, ya?”

Saila mengangguk.

“Kamu mau mencari dia?”

Kali ini, dia menggeleng.

“Lho, kenapa, Sai? Dia sudah punya pacar? Atau kamu sudah yakin kalau kamu nggak akan kemana-mana sama dia?”

“Bukan itu, Mon, bukan itu maksudku.”

“Lalu?”

“Aku…” Saila membayangkan Ibnu sebentar lalu berkata dengan kalimat yang tegas dan penuh pengharapan, “…seperti katamu, segalanya akan datang tepat pada waktunya. Mungkin saat itu bukan waktu yang tepat, tapi entah, mungkin suatu hari nanti, aku akan bertemu dia lagi… dan mulai segalanya dari awal.”

Monita memandangnya. “Kalau kamu nggak ketemu dia lagi…bagaimana?”

Saila menghela nafasnya. Senyumnya mengembang. “Berarti dia bukan lelaki yang tepat buat aku, Monita…”

-11-

Minggu berikutnya, Mas Didit main ke rumah dan seperti biasa, Mbok Darmi sangat antusias membuat kue kentang kesukaannya. Saila menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Tidak ada kangen yang meletup-letup atau perasaan nyaman karena kedatangan lelaki yang akan menjadi suaminya dalam beberapa bulan ke depan. Bahkan saat Mas Didit mencium bibirnya, Saila tidak merasakan apa-apa selain ingin segera menjauhkan bibirnya dari Mas Didit. Dan itu bukan hal yang wajar bagi seorang kekasih, untuk kekasihnya.

“Abel nyari kamu terus, Yang.”

“Oh ya?” sahut Saila malas-malasan.

“Iya. Dia nanya, kapan bisa ketemu kamu lagi, bikin bintang-bintangan dari kertas lagi, terus dia juga bilang, cerita Kerudung Merahnya sudah lupa-lupa ingat, jadi minta kamu cerita lagi… Kapan-kapan kita main ke rumahnya, ya, Yang?

Abel, Annabel. Gadis cilik, empat tahun, yang semu merah pipinya seperti cerita dongeng Snow White itu terbayang lagi di benak Saila. Saat pesta ulang tahun itu, dia mulai dekat keponakan Mas Didit, anak Arman, sepupunya.

“Dan bukan Abel saja yang mencari kamu, Yang, tapi semua keluarga.”

“…”

“Mereka suka sama kamu.”

“….”

“Mereka bilang, sudah waktunya aku berpikir untuk mencari pengganti Marisa… Dan... mendapatkan keturunan, barangkali?”

“Kamu bilang berapa usiaku?”

“Ya.”

“Dan, komentar mereka?”

“Mereka bilang, berusaha saja. Kalau memang ada rejeki, pasti Tuhan akan memberi.” Saila mendengar hening sebentar, lalu Mas Didit kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku benar-benar ingin punya anak, Yang, supaya aku lega karena akhirnya ada yang menikmati hasil jerih payahku ini…”

“…”

“Tapi, aku tahu.. ngg… perempuan seusia kamu cukup sulit untuk….”

“Apa? Punya anak?” Mas Didit diam, tidak berkomentar. “Sudah, deh, Mas, bilang saja kalau kesempatan aku untuk punya anak sudah sedikit sekali. Aku memang beresiko tinggi untuk mengandung. Jangan sungkan, Mas, bilang saja. Aku bisa terima, kok.”

“…”

“Lucu, ya? Bahkan lelaki seumuranku berpikir aku nggak pantas untuk dikawinin…” Saila berkata dengan nada sinis. Dia tersenyum kecut. “Kalau kamu mau mundur, aku nggak akan marah, kok, Mas. Percaya, deh, aku ini perempuan yang extraordinary…”

Dengan kata lain, aku sudah terbiasa disakiti, dikhianati, dan ditinggalkan…

“Sayang, bukan begitu maksudku, aku hanya…”

“Kamu hanya ingin punya anak tapi kamu nggak bisa berkutik karena keluargamu terlanjur suka sama aku, betul begitu, kan?” Saila masih dengan sinis mencecari Mas Didit dengan teori-teorinya. Entah kenapa, dia merasa ‘nothing to lose’. Tak ada yang dipertaruhkan, selain kebahagiaannya sendiri. Dan semakin lama ia dekat dengan Mas Didit, kebahagiaannya malah berangsur-angsur menjauh...

“Sayang, kamu salah. Maksud aku…”

“Mas, aku tahu persis apa maksud kamu, kok. Kamu ingin mencari pasangan lebih muda, kan, yang rahimnya masih boleh untuk mengandung bakal anakmu nanti?” Mas Didit hanya memandanginya. “Atau bahkan kamu sudah mendapatkannya tapi kamu nggak ingin menyakiti perasaanku?”

Tetap tidak ada komentar sedikitpun yang keluar dari bibir Mas Didit. Saila menghela nafas. Peristiwa tiga belas tahun yang lalu terbayang lagi saat Biyan memutuskan pertunangan mereka dan memilih untuk menghabiskan hidupnya dengan Nyna. Yang Saila tahu, beberapa bulan berikutnya, Biyan menikah dengan Nyna yang sudah hamil beberapa minggu. Sejak saat itu, nama Biyan seperti virus yang datang dan pergi, tapi mulai meluntur karena Ibnu…

Ah Ibnu, kemana ya, kamu sekarang? Aku ingin ketemu…

“Siapa perempuan itu, Mas? Aku kenal dia?”

Mas Didit menggeleng. “Kamu nggak kenal dia, Sayang…”

Berarti benar Mas Didit sudah punya kekasih selain aku? Ya, Tuhan…

“Mas, pertama, jangan panggil aku ‘Sayang’ lagi. Kedua, ralat. Aku nggak peduli siapa perempuan itu. Dan ketiga, si ABG yang dulu pernah kamu bilang sangat tergila-gila sama aku itu namanya Ibnu. Dan terakhir, bukan hanya dia yang tergila-gila sama aku, tapi aku juga sangat mencintai dia. Asal tahu saja, Mas. Aku menyesal lebih memilih kamu daripada dia untuk alasan ‘keamanan’ semata, karena akhirnya aku tahu, bukan keamanan yang aku cari, tapi seseorang yang bisa mencintaiku tanpa syarat. Itu!”

Saila menahan air matanya. Mungkin inilah jawaban dari doa-doanya selama ini, sejak Ibnu pergi meninggalkannya dan ia lebih memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan Mas Didit. Dia selalu sholat malam dan mencari jawaban di sana. Memang bukan wajah Mas Didit yang terbayang, tapi yang terlintas, malah bisikan nama Ibnu. Mungkinkah memang Ibnu lelaki yang dipersembahkan untuknya? Atau ia hanya terlalu merindukan lelaki itu sampai-sampai namanya selalu terbayang di dalam hati?

“Sebaiknya Mas Didit pulang saja.”

“Saila…”

“Mas Didit nggak akan mendapatkan apa-apa di sini.”

“…”

“Tolong sampaikan ke Ibu, Bapak, dan keluarga besar, kalau aku nggak akan bisa main-main ke sana lagi…”

“…”

“Dan, Mas, kamu harus bawa perempuan itu ke rumah supaya mereka mulai belajar untuk menyukai dia…”

“Saila, kamu yakin? Aku…”

Saila tersenyum. “Aku nggak pernah seyakin ini, Mas. Pulanglah. Aku akan baik-baik saja.”

Saat Mas Didit pulang sebelum menyentuh kue kentang buatan Mbok Darmi, Saila terduduk di depan teve dan merasa hampa seketika. Memang ada yang hilang, memang ia ingin menangis. Tapi entah apa yang hilang, entah mengapa ia ingin menangis. Mungkin dia merasa hatinya telah hilang, sekali lagi, dan mungkin ia ingin menangis karena sebetulnya, hati yang hilang itu telah pergi bersama lelaki yang bernama Ibnu.

Mbok Darmi muncul dari balik korden dan duduk di sebelahnya. Dia ikut mendengar apa yang terjadi dan merasa hatinya teriris karena ternyata Nona tersayangnya itu kembali sendiri, kembali hidup tanpa harapan apapun. Saila memang tidak memiliki siapa-siapa, kecuali Monita dan dirinya. Kedua orang tua Saila sudah meninggal dan dia tidak bisa melacak siapa keluarganya setelah Ibu dan Ayahnya memutuskan untuk kawin lari karena menikah tanpa restu.

Dia sendiri lagi. Bahkan kini, tanpa Ibnu.

Dalam harunya, Mbok Darmi memeluk Saila yang kini menangis …

-10-

Jadi Ibnu itu ABG yang suka banget sama kamu itu, ya, Sai? Mbok Darmi yang cerita…

Mas Didit

Mbok cerita? Kapan dia cerita, Mas? Jadi dia wajib lapor ke kamu, ya?

Bukan begitu, Sai. Mbok Darmi cuman care aja sama kita berdua. Sepertinya dia ingin sekali melihat kita berhasil. Jangan sewot dong, Cantik.

Mas Didit

Ya sudah. Aku malas membahasnya sekarang.Cerita aja soal kerjaan kamu. Gimana tadi presentasinya? Sampai kapan kamu di Jakarta?

Rencananya Minggu baru bisa pulang. Biasa, big boss mau entertain aku. Mm, Sai, sudah dulu ya? Aku mau istirahat dulu. Besok pagi2 sekali aku harus sampai di kantor. Selamat tidur, Saila… Mimpi indah, ya? Dream of me.

Mas Didit.

Met tidur juga.

*

Sekali lagi, Ibnu membuktikan bahwa dia adalah man with words. Dia memenuhi janjinya untuk ‘pergi’ dalam hidup Saila. Tidak ada SMS, tidak ada telepon, tidak ada lelaki yang dengan betah duduk menonton di depan teve sambil mengunyah kacang telur dan memijit punggung Saila yang pegal karena terlalu banyak duduk di kantor. Dan pastinya, tidak ada pelukan sayang dan genggaman jemari yang hangat, yang bisa membuat perasaannya rileks dan ingin bermanja-manja dengannya.

Jujur, Saila sangat merindukannya. Dan menginginkan Ibnu selalu ada di dekatnya, meskipun dia harus bersama dengan Mas Didit. Sungguh egois. Dia menempatkan keinginannya di atas segalanya. Tidak ingin kehilangan Mas Didit, lelaki yang mungkin saja akan menjadi ‘Pria Impiannya’, dan tetap merindukan kehadiran Ibnu, yang selalu bisa membuatnya tertawa dan awet muda.

Tapi, bukankah itu sudah menjadi sifat dasar manusia? Menginginkan segala sesuatu menjadi lebih indah, paling tidak untuknya sendiri?

Mas Didit memang lelaki ‘paling sempurna’ yang bisa membuatnya mengakhiri masa lajangnya selama 39 tahun. Lelaki tampan dengan kemampuan finansial jauh di atas rata-rata, serta berasal dari keturunan baik-baik. Apa lagi yang bisa diharapkan seorang wanita dari Mas Didit? Dia memiliki segalanya.

Tapi, aku nggak bisa membohongi perasaanku…

Beberapa minggu yang lalu, akhirnya, Mas Didit mengungkapkan perasaannya. Dia ingin serius dengan Saila dan mungkin akan segera melamarnya paling lambat tahun ini. Keluarga besar sudah setuju dan mereka senang karena akhirnya Didit-mereka sudah menemukan calon istri yang baik.

“Tapi kenapa kamu nggak kelihatan senang, sih, Sai?” tanya Monita saat tidak sengaja bertemu Saila di gym. Mereka duduk di kafetaria dan memesan dua jus tomat. “Harusnya kamu senang, dong, akhirnya bisa ketemu sama orang yang tepat…”

Saila hanya mengaduk-aduk jus tomatnya dan mencoba untuk mengalihkan perhatiannya. Belakangan ini, dia kehilangan minat untuk membicarakan soal itu, apalagi dengan Monita. Jujur saja, saat Mas Didit mengatakan kalimat yang seharusnya indah itu, dia malah ingin segera masuk ke kamar dan bermimpi soal Ibnu, yang paling tidak, masih bisa ditemuinya di dalam mimpi.

“Sai, laki-laki seperti Mas Didit itu jarang, lho… Dan kamu beruntung bisa dapat lelaki seperti dia…”

Kalau Ibnu bilang, dia yang beruntung mendapatkan perempuan seperti aku…

“Coba lihat dia baik-baik. Berapa banyak lelaki seperti dia di Surabaya? Yang sehari-hari naik mobil Jaguar, jadi presdir di perusahaan asing ternama, belum lagi penampilan fisiknya? Kalau boleh jujur, ya, Sai, Mas Gilang, sih, nggak ada apa-apanya dibandingkan dia! Betul, nggak?” Monita terus ‘cerewet’ seperti germo menawarkan ‘anak-anaknya’.

“Sai, kamu dengar, nggak, sih? Kok kamu nggak komentar apa-apa, Sai?”

Komentar seperti apa yang ingin kamu dengar, Monita Hutabarat? Kalau aku malas mendengar sisi baik Mas Didit? Dan kalau aku sebetulnya ingin bilang sama kamu kalau aku “tidak bahagia” bersama Mas-Didit-mu itu?

“Sai, kamu kenapa? Ada yang salah, ya, sama ucapanku barusan?”

Saila menggeleng. “Mm, Mon, aku mau lari di treadmill dulu, ya? Kamu mau ikut, atau…” Dia memutuskan untuk mengalihkan perhatian.

“Aku pulang aja, deh, Sai. Anak-anakku sudah nangis minta diajak jalan ke mal…” Monita mengakhirinya dengan kecupan di pipi kiri Saila dan meninggalkan Monita sendiri di kafetaria. “Kamu kenapa, sih, Sai…” Monita berbisik lirih sambil melihat sahabatnya berjalan ke ruang alat tanpa berkata sedikitpun.

-9-

Siang itu, hari pertama Ibnu datang ke rumah dan wajahnya seperti tumpukan kangen yang tertahan. Senyumnya sangat lebar, pelukannya sangat hangat, dan Saila hampir tidak bisa bernafas ketika Ibnu tidak melepaskan pelukannya selama beberapa menit.

“IBNUUU… Mbakmu ini masih pingin hidup, lho…” Saila mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Dia memang sangat menikmati pelukan hangat itu, setelah sekian lama dia mencoba menjadi ‘wanita sesuai umur’ setiap ia bersama Mas Didit. Entahlah, setiap ia bersama Ibnu, sepertinya ia kembali menjadi ‘anak kecil yang menikmati permennya’.

Sorry, Mbak, abis kangen sih…”

“Kangen, ya, kangen, Nu, tapi nggak usah sampai bikin aku sesak nafas, dong… Mm, minum, ya?”

Saila berjalan ke dapur dan mengambil satu kaleng minuman bersoda kesukaan Ibnu. Saat di dapur, dia melihat Mbok Darmi yang memandanginya dengan pandangan aneh.

Ah, terserah, deh, Mbok Darmi mau bilang apa… Melaporkan pada Monita? Atau bahkan langsung pada Mas Didit? Terserah saja. Aku lagi kangen, nih, sama Ibnu. Sekali-sekali, aku ingin menjadi diriku sendiri…

“Tadi langsung ke sini, Nu?”

“Iya, dong. Lihat aja, tuh, ranselnya masih penuh baju kotor semua. Titip cuci, dong….”

Saila tahu Ibnu hanya bercanda, meskipun seringkali Saila merasa kasihan dengan anak kost seperti dia. Tapi setiap dia merasa ingin membantu Ibnu membantu pekerjaan rumahnya, lelaki muda itu yang menolaknya dan berkata, “Aku bukan anak kecil, Mbak. Ibu Bapak sudah melepaskan aku ke Surabaya karena mereka tahu aku bisa hidup mandiri.”

“Nu, Ibu sama Bapak apa kabar, ya?” Dia jadi bertanya soal kedua orang tua Ibnu. Tiba-tiba saja hal itu terlintas dalam pikiran Saila.

“Kenapa, Mbak? Kok tiba-tiba nanya seperti itu, sih?” tanya Ibnu heran. Setelah setahun menjadi orang terdekat Saila, rasanya baru hari ini orang cantik itu bertanya soal orang tuanya.

“Ng… nggak ada apa-apa, aku hanya ingin tahu kabarnya saja, kok. Kamu, kan, nggak pernah cerita mereka seperti apa, kabar mereka bagaimana…”

“Baik, kok, Mbak. Waktu KKN kemarin aku sempat pulang ke Jogja. Sowan keluarga, kangen Bapak Ibu, dan… cerita soal Mbak Saila.”

Saila terkejut. “Kamu cerita soal aku, Nu?”

“Iya. Siapapun perempuan yang aku sayangi, pasti mereka tahu, kok, Mbak.”

Saila masih belum bisa melepas rasa terkejutnya. Bagaimana mungkin Ibnu bisa cerita soal dirinya ke orang tuanya? Mungkinkah dia menyelipkan kebohongan di sana sini supaya yang terkesan adalah Saila-yang-baik-baik-dan-pantas-untuk-anaknya? Saila terdiam dan membiarkan Ibnu melanjutkan ceritanya.

“Aku cerita kalau Mbak Saila itu yang jadi pembimbing aku saat magang kemarin. Aku juga cerita kalau Mbak Saila itu nggak hanya cantik, tapi juga baik hati. Dan, pastinya,” kata Ibnu sambil memandangnya lembut, “Aku juga cerita kalau Mbak Saila sudah 39.”

Saila menelan ludahnya. Tiba-tiba dia merasa gerah dan gelisah.

Aku sudah siap kecewa kalau setelah ini kamu bilang Bapak Ibu nggak suka kamu dekat sama aku, Nu…

“Mereka…”

“….”

“… ingin ketemu Mbak Saila bulan depan.”

Kalimat terakhir itu seperti daging kenyal yang susah terkunyah sempurna di geliginya. Saila benar-benar tidak mempercayai pendengarannya, apalagi wajah Ibnu begitu cerah dan ceria saat mengatakannya.

“Ibnu…”

“Mbak, mereka ingin tahu lebih banyak soal Mbak Saila…”

“Tapi, Nu…”

“Dan apapun hasil penilaian mereka, Mbak masih ingat, kan, kalau aku pernah bilang nggak akan segan untuk mengajak Mbak Saila pergi? Dan aku akan selalu menyimpan janjiku, Mbak.”

“Tapi, Nu…”

“Mbak masih nggak percaya? Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan hidupku sendiri, Mbak. Tahun depan aku sudah dua satu, lulus kuliah, dan semoga perusahaan yang sekarang memenuhi janjinya untuk mengangkat aku jadi staf tetap.”

“Nu…”

“Mbak, aku sayang banget sama Mbak Saila… Aku nggak pernah main-main dengan kata-kataku, Mbak… Please, Mbak, dengarkan aku…”

“Ibnu,” potong Saila dengan mata perih menahan air mata. “Kamu yang harus mendengarkan aku.”

Ibnu menatapnya dengan pandangan heran. Air mata Saila seperti ingin segera turun dari kedua mata indahnya dan perasaan Ibnu mulai meraba kalau telah terjadi sesuatu.

“Kenapa, Mbak? Ada apa?”

“Nu…”

“Iya, Mbak…?”

“Aku….”

“…”

“Sepertinya kita harus berhenti sering bertemu seperti sekarang…”

“….”

“Sepertinya kamu harus berhenti berharap kita bisa menikah…”

Ibnu menatapnya sambil berkata, “Kenapa? Waktu terakhir kita melihat bintang malam itu, Mbak Saila bilang kalau ingin menjalaninya seperti air, kan? Terus, kenapa sekarang begini, sih, Mbak? Kenapa tiba-tiba Mbak menyuruh aku berhenti punya harapan?” Lelaki muda itu terlihat putus asa. “Mbak… Atau Mbak Saila sudah ketemu sama laki-laki lain…”

“Namanya Didit, Nu,” tukas Saila, mencoba untuk setegar mungkin. “Dia teman baik suaminya Monita yang baru pulang dari luar negeri.”

Ibnu masih memandangnya tak percaya, seperti mencari ‘kebohongan’ yang bisa tertangkap lewat kegugupan dari pandangan mata Saila, tapi kemudian dia menyerah, karena mata cantik itu malah menitikkan air mata.

Tanpa berpikir, Ibnu langsung memeluk tubuh Saila dan menyimpan tubuh yang bergetar itu dengan satu pelukan yang kuat. Saila menumpahkan air matanya di sana dan membiarkan Ibnu mengelus rambutnya.

“Nu, aku… aku… minta maaf…”

Lelaki itu tak berkomentar, dia hanya memeluk Saila dan merasa jantungnya seperti berdetak lebih kencang.

“Aku tahu, dari awal, harusnya aku nggak membuatmu berharap terlalu tinggi… dan membiarkan kamu larut dengan mimpi-mimpimu, Nu. Kamu masih sangat muda, Nu, masih banyak perempuan seumuran, bahkan lebih muda, yang bisa menjadi pasangan hidup kamu, Nu. Suatu saat nanti kamu akan tahu kalau semua yang kulakukan ini demi kebaikanmu sendiri…”

“Bukan kebaikan Mbak Saila?” potong Ibnu. “Mbak, semua ini bukan tentang aku, kan? Tapi ini semua tentang ketakutan-ketakutan Mbak Saila untuk terluka lagi, untuk dikhianati lagi, untuk ditinggalkan lagi, lalu berlari dari kenyataan kalau Mbak Saila itu sebenarnya hanya ingin mencari posisi yang aman saja?”

“IBNU! Kamu keterlaluan…” Mata Saila memerah. Seperti telinganya yang mendengar kenyataan hidupnya seperti terceritakan dengan runut oleh lelaki terbaik di dalam hidupnya itu.

“Mbak, aku akan pergi,” timpal Ibnu, “Tapi ada satu pertanyaan terakhir sebelum aku pergi.”

Saila menunduk, tak berani mengangkat wajahnya dan melihat kesedihan di wajah Ibnu. Lelaki itu mengangkat wajahnya dengan ujung jari-jari kanannya.

Is this what you really, really, want?” Usai bertanya, Ibnu menghela napasnya dengan berat dan menghapus air mata yang mengambang sedikit di kedua matanya, kemudian pergi meninggalkan Saila yang segera berlari ke kamarnya dan menangis hebat di sana.

Ibnu berjalan meninggalkan rumah, mencari taksi untuk membawanya kembali ke tempat kosnya. Hatinya pedih, perih, dan sungguh, bukan ini yang terbayang di wajahnya ketika berencana untuk datang mendadak ke rumah Saila.

Sebetulnya, dia datang ke rumah ini, membawa kabar bahagia, karena kemungkinan, Bapak dan Ibu merestui hubungan mereka berdua. Orang tua Ibnu memang bukan orang Jawa kolot yang sangat mengagung-agungkan hirarki, mereka hanya orang tua yang menganggap apapun pilihan anak mereka, tugas mereka sebagai orang tua hanyalah memberi nasehat, bukan pembuat keputusan.

Seandainya Saila tahu, sebetulnya, tujuan Ibnu kemari adalah untuk bilang, “Aku cinta kamu, Sayang. Kamu mau menunggu sampai aku lulus tahun depan?” Dan sayangnya, pujaan hatinya itu telah mengambil keputusannya.

-8-

“Aku dengar kamu sudah beberapa kali kencan sama Mas Didit, ya, Sai? Ngaku, deh…” tanya Monita saat mereka makan siang di Amigos, alias agak minggir got sedikit.

“Mmm… sejak kapan kamu punya waktu untuk jadi mata-mata?”

“Sejak aku punya uang untuk bayar Mbok Darmi supaya dia buat laporan harian buat aku, Sai!” Monita tertawa. “Apa susahnya, sih, Sai, tanya sama Mbok Darmi? Dia, kan, yang paling bahagia kalau kamu dekat sama seseorang…”

“Mungkin dia kasihan melihat aku sendirian terus, Mon.”

“Atau kesal karena kamu sok selektif dan menempatkan luka hati di masa lalu di atas segala-galanya?”

Monita ingat bagaimana Biyan telah menciptakan luka itu dan tidak ada satupun lelaki yang bisa membuat sahabatnya tertawa dengan hati yang bahagia, kecuali… ya, mungkin hanya dengan Brondong satu itu. Lelaki baik, tapi salah, itu.

“Apa kabarnya, ya, si Brondong?” tanya Monita tiba-tiba.

Saila meneguk es teh tawarnya. “Ibnu? Dia lagi KKN,” sahutnya pendek.

“Oh ya? Kapan baliknya?”

“Nggg.. Belum pasti juga, sih, Mon. Kata Ibnu, sih, masih memungkinkan ada perubahan rencana. Bisa lebih lama, bisa tepat waktu, tapi nggak akan bisa lebih cepat dari jadwal.”

“Kamu nggak telepon dia?”

“Nggak ada sinyal, Mon. Dia malah bilang kalau telepon aku itu butuh perjuangan.”

“Kenapa?”

“Karena harus menempuh waktu dua jam untuk sampai ke wartel terdekat.”

“Jadi, dia nggak tahu kamu lagi dekat sama Mas Didit?”

Biasanya Ibnu selalu jadi orang pertama yang tahu lelaki mana yang sedang dekat dengan aku, tapi entah kenapa aku nggak pernah menceritakan soal Mas Didit padanya… Tanpa alasan yang jelas, yang pasti hanya aku nggak ingin melukai dia.

Saila menggeleng.

Monita menghela napasnya lalu menyentuh jemari Saila dengan lembut.

“Saila, kenapa kamu nggak…”

“Mon,” potong Saila dengan suara yang bergetar, “Waktu itu kamu tanya, kan, Ibnu itu ‘apa’ buat aku?”

Monita menunggunya.

“Dia…” Saila menunduk sebentar sebelum berkata, “…segalanya.”

*

Mas Didit sudah berteman baik dengan Mbok Darmi setelah dua bulan yang intensif dia berkunjung ke rumah Saila, entah sekedar mengantarkan pulang, atau memang sengaja berkunjung dengan membawa banyak oleh-oleh. Mbok Darmi memang yang paling antusias setiap mendengar derum suara mobil Mas Didit berhenti di depan rumah Saila, dia pula yang tergopoh-gopoh membukakan pintu pagar dan menyuruh Mas Didit masuk ke ruang tamu lalu membuatkan secangkir kopi susu kesukaannya.

Saila tahu, Mbok Darmi memang terjangkit virus ‘Mas Didit-isme’. Dia juga tahu, apa alasan Mbok Darmi begitu ‘mencintai’ lelaki empat puluh tiga yang betah menduda karena belum bisa menemukan wanita yang tepat untuk mengganti mendiang istrinya yang meninggal lima belas tahun yang lalu. Karena Mbok Darmi tahu, lelaki ini yang paling tepat untuk ‘anak kesayangannya’, Saila.

“Non Saila, Pak Didit sudah datang…” Mbok Darmi berkata dari balik pintu.

“Suruh tunggu sebentar, Mbok, sedikit lagi aku selesai…”

Hari ini Mas Didit berencana mengajaknya ke pesta ulang tahun Agung, keponakan tersayang dari adik perempuannya, Kinan. Mas Didit sudah mengajaknya sejak dua minggu yang lalu, tapi Saila baru memberinya jawaban setelah menimbang-nimbang dan akhirnya berkata “ya” beberapa jam yang lalu.

Datang ke pesta ulang tahun keponakan adalah peristiwa besar dalam hidupnya. Tiga belas tahun yang lalu adalah saat terakhir dia merasakan “kebersamaan” dengan keluarga besar kekasih. Selama sembilan tahun, Biyan sudah membuatnya mengenal betul setiap karakter adik-kakaknya, om-tantenya, sepupu atau keponakan-keponakannya, bahkan eyang dan buyut yang selalu gembira setiap bertemu dengan Saila. Kini, dia sudah merasa canggung untuk “berbasa-basi” dengan keluarga besar seseorang, apalagi statusnya masih “tidak jelas” seperti ini.

…no matter what I do, all I think about is you… and even when I’m with my Boo…

“Ya, Mon?”

“Wah… mau kencan ya, Jeng?”

“Haha, berapa banyak, sih, yang kamu bayar ke Mbok Darmi sampai tahu banget aku mau keluar sama Mas Didit?”

Monita tertawa. “Yang pasti, jatah jajan anak-anakku banyak berkurang gara-gara kamu, Sai!”

“Huh, itu ibu yang nggak bertanggung jawab, tuh! Menyengsarakan anaknya demi gosip!”

“Hahahaha... abis aku senang sekali, sih, Sai, setelah sekian lama menjodoh-jodohkan kamu sama teman-temanku dan Mas Gilang, akhirnya dapat juga yang cocok! Kalau tahu akan begini, kenapa nggak dari dulu aja, ya, aku kenalin kamu sama Mas Didit?”

“Semuanya, kan, sudah ‘diatur’, Mon, jadi kamu, sih, nggak salah-salah amat lah!”

“Ya, memang jelas nggak salah, dong…”

“Huh, dasar! Ya, sudah, ya, Mon. Aku mau siap-siap, nih! Mas Didit malah sudah menunggu di ruang tamu.”

“Iya, iya. Salam buat Mas Didit, ya, Sai…”

Saila meletakkan ponselnya di atas meja lalu mulai mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Rambutnya yang keriting semakin seksi dengan sentuhan akhir foam yang wangi. Hm, apa kata keluarga Mas Didit nanti? Bisakah mereka melihat Saila sebagai perempuan cantik yang pantas untuk menjadi bagian keluarga mereka? Atau melihat Saila sebagai salah satu dari perempuan-perempuan yang silau dengan mobil Jaguar Mas Didit?

Apalagi Mas Didit belum bilang apa-apa soal cinta…

Selesai mengatur rambutnya, Saila mulai menyemprotkan minyak wangi ke belakang telinga dan pergelangan tangannya. Dia sudah siap berangkat dan mulai menganggap ‘masa bodoh’ akan penilaian keluarga Mas Didit nanti. Toh Saila sendiri masih belum meyakini kalau lelaki ini adalah orang yang tepat. Meskipun tentu saja, ada dua orang yang pasti akan membencinya habis-habisan. Sahabatnya, Monita. Dan ‘ibunya’, Mbok Darmi.

Ah, sudahlah. Jalani saja hari ini.

Saila sedang beranjak dari kursi dan mulai melangkah ke luar kamar, ketika ponselnya berbunyi lagi. Dengan cepat, dia segera menjawab teleponnya.

“Apa lagi, sih, Mon? Belum juga berangkat, sudah ditanyain!” semprot Saila.

“… nggg… Mbak, ini aku, Ibnu.”

Saila merasa sangat bodoh karena tadi langsung asal semprot tanpa melihat siapa yang menelepon, padahal jelas-jelas yang muncul adalah ‘Ibnu’ bukan ‘Cewek Ganjen’.

“Ampun, Nu, aku kira si Monita…”

“Makanya bikin ring tone khusus buat aku, dong, Mbak, biar nggak salah semprot…”

“Kamu ini… Apa kabar, Ibnu?”

“Jelek, Mbak. Kangen Mbak Saila terus, sih…”

“Hus, hus. Jangan begitu, dong, Nu, Mbak jadi nggak enak, nih…” Meskipun aku juga kangen sekali sama kamu, Dek…

“Kayaknya Mbak mau pergi, ya?”

“Kok tahu, Nu?”

“Iya, kan? Tadi, kan, Mbak bilang mau berangkat, gitu. Mau kemana, sih, Mbak? Sama siapa? Mbak Nita?”

“…. Iya. Sama Nita”

“Oh…untung sama Mbak Nita, karena kalau perginya sama laki-laki…”

“Kenapa kalau sama laki-laki?”

“Aku akan pulang ke Surabaya dan bilang sama laki-laki yang pergi sama Mbak Saila kalau dia pergi sama pacar orang…”

“…”

“Ya sudah, deh, Mbak. Salam ya, buat Mbak Nita.”

“Iya, Nu…”

“Baik-baik, ya, Mbak… Miss you…”

Sesaat setelah menutup telepon, hatinya mulai meradang. Sekilas dia melihat pantulan wajahnya sendiri di depan cermin yang tergantung di pintu kamarnya.

Itukah wajah perempuan bahagia yang telah menemukan lelaki baik?

Itukah wajah perempuan yang akhirnya bisa berkata, “Aku nggak salah pilih” dan “Nggak bersalah karena berbohong pada seseorang yang sayang banget padaku”?

Atau itukah wajah desperate yang menganggap lelaki paling potensial harus segera ditangkap tanpa perlu melakukan analisa lagi?

Perasaannya pada Ibnu membuatnya ingin berkata pada Mbok Darmi kalau mendadak ia merasa tidak enak badan…

Ibnu… Mbak minta maaf, ya…