Sunday, July 5, 2009

-11-

Minggu berikutnya, Mas Didit main ke rumah dan seperti biasa, Mbok Darmi sangat antusias membuat kue kentang kesukaannya. Saila menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Tidak ada kangen yang meletup-letup atau perasaan nyaman karena kedatangan lelaki yang akan menjadi suaminya dalam beberapa bulan ke depan. Bahkan saat Mas Didit mencium bibirnya, Saila tidak merasakan apa-apa selain ingin segera menjauhkan bibirnya dari Mas Didit. Dan itu bukan hal yang wajar bagi seorang kekasih, untuk kekasihnya.

“Abel nyari kamu terus, Yang.”

“Oh ya?” sahut Saila malas-malasan.

“Iya. Dia nanya, kapan bisa ketemu kamu lagi, bikin bintang-bintangan dari kertas lagi, terus dia juga bilang, cerita Kerudung Merahnya sudah lupa-lupa ingat, jadi minta kamu cerita lagi… Kapan-kapan kita main ke rumahnya, ya, Yang?

Abel, Annabel. Gadis cilik, empat tahun, yang semu merah pipinya seperti cerita dongeng Snow White itu terbayang lagi di benak Saila. Saat pesta ulang tahun itu, dia mulai dekat keponakan Mas Didit, anak Arman, sepupunya.

“Dan bukan Abel saja yang mencari kamu, Yang, tapi semua keluarga.”

“…”

“Mereka suka sama kamu.”

“….”

“Mereka bilang, sudah waktunya aku berpikir untuk mencari pengganti Marisa… Dan... mendapatkan keturunan, barangkali?”

“Kamu bilang berapa usiaku?”

“Ya.”

“Dan, komentar mereka?”

“Mereka bilang, berusaha saja. Kalau memang ada rejeki, pasti Tuhan akan memberi.” Saila mendengar hening sebentar, lalu Mas Didit kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku benar-benar ingin punya anak, Yang, supaya aku lega karena akhirnya ada yang menikmati hasil jerih payahku ini…”

“…”

“Tapi, aku tahu.. ngg… perempuan seusia kamu cukup sulit untuk….”

“Apa? Punya anak?” Mas Didit diam, tidak berkomentar. “Sudah, deh, Mas, bilang saja kalau kesempatan aku untuk punya anak sudah sedikit sekali. Aku memang beresiko tinggi untuk mengandung. Jangan sungkan, Mas, bilang saja. Aku bisa terima, kok.”

“…”

“Lucu, ya? Bahkan lelaki seumuranku berpikir aku nggak pantas untuk dikawinin…” Saila berkata dengan nada sinis. Dia tersenyum kecut. “Kalau kamu mau mundur, aku nggak akan marah, kok, Mas. Percaya, deh, aku ini perempuan yang extraordinary…”

Dengan kata lain, aku sudah terbiasa disakiti, dikhianati, dan ditinggalkan…

“Sayang, bukan begitu maksudku, aku hanya…”

“Kamu hanya ingin punya anak tapi kamu nggak bisa berkutik karena keluargamu terlanjur suka sama aku, betul begitu, kan?” Saila masih dengan sinis mencecari Mas Didit dengan teori-teorinya. Entah kenapa, dia merasa ‘nothing to lose’. Tak ada yang dipertaruhkan, selain kebahagiaannya sendiri. Dan semakin lama ia dekat dengan Mas Didit, kebahagiaannya malah berangsur-angsur menjauh...

“Sayang, kamu salah. Maksud aku…”

“Mas, aku tahu persis apa maksud kamu, kok. Kamu ingin mencari pasangan lebih muda, kan, yang rahimnya masih boleh untuk mengandung bakal anakmu nanti?” Mas Didit hanya memandanginya. “Atau bahkan kamu sudah mendapatkannya tapi kamu nggak ingin menyakiti perasaanku?”

Tetap tidak ada komentar sedikitpun yang keluar dari bibir Mas Didit. Saila menghela nafas. Peristiwa tiga belas tahun yang lalu terbayang lagi saat Biyan memutuskan pertunangan mereka dan memilih untuk menghabiskan hidupnya dengan Nyna. Yang Saila tahu, beberapa bulan berikutnya, Biyan menikah dengan Nyna yang sudah hamil beberapa minggu. Sejak saat itu, nama Biyan seperti virus yang datang dan pergi, tapi mulai meluntur karena Ibnu…

Ah Ibnu, kemana ya, kamu sekarang? Aku ingin ketemu…

“Siapa perempuan itu, Mas? Aku kenal dia?”

Mas Didit menggeleng. “Kamu nggak kenal dia, Sayang…”

Berarti benar Mas Didit sudah punya kekasih selain aku? Ya, Tuhan…

“Mas, pertama, jangan panggil aku ‘Sayang’ lagi. Kedua, ralat. Aku nggak peduli siapa perempuan itu. Dan ketiga, si ABG yang dulu pernah kamu bilang sangat tergila-gila sama aku itu namanya Ibnu. Dan terakhir, bukan hanya dia yang tergila-gila sama aku, tapi aku juga sangat mencintai dia. Asal tahu saja, Mas. Aku menyesal lebih memilih kamu daripada dia untuk alasan ‘keamanan’ semata, karena akhirnya aku tahu, bukan keamanan yang aku cari, tapi seseorang yang bisa mencintaiku tanpa syarat. Itu!”

Saila menahan air matanya. Mungkin inilah jawaban dari doa-doanya selama ini, sejak Ibnu pergi meninggalkannya dan ia lebih memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan Mas Didit. Dia selalu sholat malam dan mencari jawaban di sana. Memang bukan wajah Mas Didit yang terbayang, tapi yang terlintas, malah bisikan nama Ibnu. Mungkinkah memang Ibnu lelaki yang dipersembahkan untuknya? Atau ia hanya terlalu merindukan lelaki itu sampai-sampai namanya selalu terbayang di dalam hati?

“Sebaiknya Mas Didit pulang saja.”

“Saila…”

“Mas Didit nggak akan mendapatkan apa-apa di sini.”

“…”

“Tolong sampaikan ke Ibu, Bapak, dan keluarga besar, kalau aku nggak akan bisa main-main ke sana lagi…”

“…”

“Dan, Mas, kamu harus bawa perempuan itu ke rumah supaya mereka mulai belajar untuk menyukai dia…”

“Saila, kamu yakin? Aku…”

Saila tersenyum. “Aku nggak pernah seyakin ini, Mas. Pulanglah. Aku akan baik-baik saja.”

Saat Mas Didit pulang sebelum menyentuh kue kentang buatan Mbok Darmi, Saila terduduk di depan teve dan merasa hampa seketika. Memang ada yang hilang, memang ia ingin menangis. Tapi entah apa yang hilang, entah mengapa ia ingin menangis. Mungkin dia merasa hatinya telah hilang, sekali lagi, dan mungkin ia ingin menangis karena sebetulnya, hati yang hilang itu telah pergi bersama lelaki yang bernama Ibnu.

Mbok Darmi muncul dari balik korden dan duduk di sebelahnya. Dia ikut mendengar apa yang terjadi dan merasa hatinya teriris karena ternyata Nona tersayangnya itu kembali sendiri, kembali hidup tanpa harapan apapun. Saila memang tidak memiliki siapa-siapa, kecuali Monita dan dirinya. Kedua orang tua Saila sudah meninggal dan dia tidak bisa melacak siapa keluarganya setelah Ibu dan Ayahnya memutuskan untuk kawin lari karena menikah tanpa restu.

Dia sendiri lagi. Bahkan kini, tanpa Ibnu.

Dalam harunya, Mbok Darmi memeluk Saila yang kini menangis …

No comments:

Post a Comment