Sunday, July 5, 2009

-12-

“Kamu juga diundang, Sai?”

“Iya, malah dia sendiri yang mengantarkan undangannya ke rumah.”

“Maksudnya apa, sih? Tega bener…” Monita bersungut-sungut.

“Sudah, dong, Mon. Aku nggak kenapa-kenapa, kok. Aku malah bersyukur karena akhirnya dia mau menikah juga.”

“Tapi kurang ajar tuh, Sai, pakai acara mengundang segala dan mengirim undangannya langsung tanpa perantara! Memangnya dia lupa, ya, kalau dia sempat mau kawin sama kamu? Huh, tahu begini, aku malas terima tawaran Mas Gilang saat itu!”

Saila hanya tersenyum. “Mon, kamu nggak capek, apa, marah-marah terus sejak setahun yang lalu? Kan saat itu aku sudah bilang kalau Mas Didit akan lebih bahagia dengan perempuan yang bisa memberinya anak, bukan perempuan seperti aku yang rahimnya sudah mulai kering?” Saila tertawa.

“Ini nggak lucu, Sai.”

“Lucu, kok. Lihat. Buktinya aku tertawa…” Saila memegang pundak sahabatnya yang masih terlihat sewot. “Monita… ayo, dong, ketawa… Aku sendiri sudah lupa, kok, masa kamu yang bukan mantan pacarnya malah sewot nggak karuan seperti ini? Ayolah, Mon… Ceria sedikit, kenapa?”

Monita memajukan bibirnya beberapa senti, kebiasaannya setiap dia merasa kesal akan sesuatu. “Tapi harusnya Mas Gilang cerita, dong, kalau Mas Didit itu lagi dekat sama sekretarisnya… Masa, sih, dia nggak pernah curiga?”

“Hei, hei. Aku kan, sudah bilang, jangan dibahas lagi, please?”

“Iya, deh. Iya. Tahu, nggak, sih, Sai, sekarang aku jadi nggak minat untuk mencarikan kamu jodoh…”

“Haha, berarti itu kebetulan yang sangat menyenangkan, Mon!”

“Lho, maksudnya, selama ini kamu…”

“Hahaha.. iya, Mon! Aku beruntung punya sahabat seperti kamu, tapi tingkahmu yang sok jadi Mak Comblang itu bener-bener bikin kesal, tahu?” Saila menyentil hidungnya.

“Huh, dasar nggak jujur!” Monita tertawa. “Ya sudah, deh. Kita jalani hidup ini aja, ya, Sai? Sesuatu itu pasti akan datang dengan indah tepat pada waktunya. Mungkin memang belum waktunya kamu menemukan lelaki yang tepat itu…”

“Iya, Mon. Tapi mungkin saja, sebetulnya aku sudah menemukan lelaki yang tepat di saat yang salah?”

“… Kamu bicara soal Brondong itu, ya?”

Saila mengangguk.

“Kamu mau mencari dia?”

Kali ini, dia menggeleng.

“Lho, kenapa, Sai? Dia sudah punya pacar? Atau kamu sudah yakin kalau kamu nggak akan kemana-mana sama dia?”

“Bukan itu, Mon, bukan itu maksudku.”

“Lalu?”

“Aku…” Saila membayangkan Ibnu sebentar lalu berkata dengan kalimat yang tegas dan penuh pengharapan, “…seperti katamu, segalanya akan datang tepat pada waktunya. Mungkin saat itu bukan waktu yang tepat, tapi entah, mungkin suatu hari nanti, aku akan bertemu dia lagi… dan mulai segalanya dari awal.”

Monita memandangnya. “Kalau kamu nggak ketemu dia lagi…bagaimana?”

Saila menghela nafasnya. Senyumnya mengembang. “Berarti dia bukan lelaki yang tepat buat aku, Monita…”

No comments:

Post a Comment