Sunday, July 5, 2009

-10-

Jadi Ibnu itu ABG yang suka banget sama kamu itu, ya, Sai? Mbok Darmi yang cerita…

Mas Didit

Mbok cerita? Kapan dia cerita, Mas? Jadi dia wajib lapor ke kamu, ya?

Bukan begitu, Sai. Mbok Darmi cuman care aja sama kita berdua. Sepertinya dia ingin sekali melihat kita berhasil. Jangan sewot dong, Cantik.

Mas Didit

Ya sudah. Aku malas membahasnya sekarang.Cerita aja soal kerjaan kamu. Gimana tadi presentasinya? Sampai kapan kamu di Jakarta?

Rencananya Minggu baru bisa pulang. Biasa, big boss mau entertain aku. Mm, Sai, sudah dulu ya? Aku mau istirahat dulu. Besok pagi2 sekali aku harus sampai di kantor. Selamat tidur, Saila… Mimpi indah, ya? Dream of me.

Mas Didit.

Met tidur juga.

*

Sekali lagi, Ibnu membuktikan bahwa dia adalah man with words. Dia memenuhi janjinya untuk ‘pergi’ dalam hidup Saila. Tidak ada SMS, tidak ada telepon, tidak ada lelaki yang dengan betah duduk menonton di depan teve sambil mengunyah kacang telur dan memijit punggung Saila yang pegal karena terlalu banyak duduk di kantor. Dan pastinya, tidak ada pelukan sayang dan genggaman jemari yang hangat, yang bisa membuat perasaannya rileks dan ingin bermanja-manja dengannya.

Jujur, Saila sangat merindukannya. Dan menginginkan Ibnu selalu ada di dekatnya, meskipun dia harus bersama dengan Mas Didit. Sungguh egois. Dia menempatkan keinginannya di atas segalanya. Tidak ingin kehilangan Mas Didit, lelaki yang mungkin saja akan menjadi ‘Pria Impiannya’, dan tetap merindukan kehadiran Ibnu, yang selalu bisa membuatnya tertawa dan awet muda.

Tapi, bukankah itu sudah menjadi sifat dasar manusia? Menginginkan segala sesuatu menjadi lebih indah, paling tidak untuknya sendiri?

Mas Didit memang lelaki ‘paling sempurna’ yang bisa membuatnya mengakhiri masa lajangnya selama 39 tahun. Lelaki tampan dengan kemampuan finansial jauh di atas rata-rata, serta berasal dari keturunan baik-baik. Apa lagi yang bisa diharapkan seorang wanita dari Mas Didit? Dia memiliki segalanya.

Tapi, aku nggak bisa membohongi perasaanku…

Beberapa minggu yang lalu, akhirnya, Mas Didit mengungkapkan perasaannya. Dia ingin serius dengan Saila dan mungkin akan segera melamarnya paling lambat tahun ini. Keluarga besar sudah setuju dan mereka senang karena akhirnya Didit-mereka sudah menemukan calon istri yang baik.

“Tapi kenapa kamu nggak kelihatan senang, sih, Sai?” tanya Monita saat tidak sengaja bertemu Saila di gym. Mereka duduk di kafetaria dan memesan dua jus tomat. “Harusnya kamu senang, dong, akhirnya bisa ketemu sama orang yang tepat…”

Saila hanya mengaduk-aduk jus tomatnya dan mencoba untuk mengalihkan perhatiannya. Belakangan ini, dia kehilangan minat untuk membicarakan soal itu, apalagi dengan Monita. Jujur saja, saat Mas Didit mengatakan kalimat yang seharusnya indah itu, dia malah ingin segera masuk ke kamar dan bermimpi soal Ibnu, yang paling tidak, masih bisa ditemuinya di dalam mimpi.

“Sai, laki-laki seperti Mas Didit itu jarang, lho… Dan kamu beruntung bisa dapat lelaki seperti dia…”

Kalau Ibnu bilang, dia yang beruntung mendapatkan perempuan seperti aku…

“Coba lihat dia baik-baik. Berapa banyak lelaki seperti dia di Surabaya? Yang sehari-hari naik mobil Jaguar, jadi presdir di perusahaan asing ternama, belum lagi penampilan fisiknya? Kalau boleh jujur, ya, Sai, Mas Gilang, sih, nggak ada apa-apanya dibandingkan dia! Betul, nggak?” Monita terus ‘cerewet’ seperti germo menawarkan ‘anak-anaknya’.

“Sai, kamu dengar, nggak, sih? Kok kamu nggak komentar apa-apa, Sai?”

Komentar seperti apa yang ingin kamu dengar, Monita Hutabarat? Kalau aku malas mendengar sisi baik Mas Didit? Dan kalau aku sebetulnya ingin bilang sama kamu kalau aku “tidak bahagia” bersama Mas-Didit-mu itu?

“Sai, kamu kenapa? Ada yang salah, ya, sama ucapanku barusan?”

Saila menggeleng. “Mm, Mon, aku mau lari di treadmill dulu, ya? Kamu mau ikut, atau…” Dia memutuskan untuk mengalihkan perhatian.

“Aku pulang aja, deh, Sai. Anak-anakku sudah nangis minta diajak jalan ke mal…” Monita mengakhirinya dengan kecupan di pipi kiri Saila dan meninggalkan Monita sendiri di kafetaria. “Kamu kenapa, sih, Sai…” Monita berbisik lirih sambil melihat sahabatnya berjalan ke ruang alat tanpa berkata sedikitpun.

No comments:

Post a Comment