Sunday, July 5, 2009

-7-

“Selamat ulang tahun, Saila Retnani…”

Kalimat itu yang muncul pertama kali saat Saila tiba di kantor dua hari berikutnya dan melihat Monita cengar-cengir di dekat mejanya dengan sepotong kue tar, yang pastinya, tanpa lilin.

“Huh, basi, tahu!”

Monita malah tertawa. “Maaf…maaf, deh. Kemarin aku lupa telepon kamu, Sai. Kamu tahu, kan, anak-anakku itu sudah seperti penjahat di rumah sendiri? Kemarin mereka mengacak-acak rumah, menjatuhkan vas bunga, dan kamu tahu, Sai? Erick malah kemarin pura-pura jadi Spiderman dan maunya cuman jalan merayap di tembok! Lama-lama aku perlu konsultasi ke psikiater, deh, Sai! Takut gila duluan!”

Saila tertawa. “Untuk orang segila kamu, aku maafkan, deh, kamu melupakan ulang tahunku…”

Sambil tersenyum, Monita merangkul sahabatnya lalu mengecup kedua pipinya. “Jadi, nanti malam kita makan-makan, ya?”

“Uh, harusnya aku tahu kalau ujung-ujungnya kamu cuman minta traktir!” kata Saila sambil pura-pura merengut, meskipun sebenarnya, dia sudah berencana untuk menraktir sahabatnya di restoran baru, dekat kantor mereka.

“Bukan, Sai, justru aku yang ingin menraktir kamu.”

Wajah Saila langsung berubah, heran.

“Serius,” kata Monita saat melihat perubahan wajah sahabatnya. “Nanti malam aku mau mengajak kamu makan malam. Gratis, kok. Aku yang bayar.”

“Kamu? Nraktir aku padahal seharusnya aku yang menraktir? Hmm… kayaknya ada yang nggak beres, deh…”

“Haha, hidungmu itu tajam banget, sih, kayak si Bruno-ku!”

“Sialan, sejak kapan aku bisa sama kayak anjingmu yang bisanya cuman ngiler itu?”

“Sejak insting kamu tajam seperti anjing!” Mereka tertawa.

“Jadi, apa rencana ‘busuk’mu, hem?” tanya Saila setelah mereka berhenti tertawa.

“Aku mau kamu ketemu seseorang, nanti malam.”

“Aduh, Mon… Hal terakhir yang ingin aku lakukan adalah berkencan buta sama calon-calon suami di dalam khayalanmu itu, Sayang…”

“Sudah, dong, Sai. Kan aku nggak beli kado buat kamu, jadi anggap saja, cowok ini adalah hadiah ulang tahun buat kamu…”

“Dan di mana kamu belinya? Di Gays and Playboys counter?”

Monita tertawa lagi. Kali ini lebih kencang.

“Yang satu ini, pasti kamu cocok, deh, Sai. Percaya, deh…”

Kalimat andalan yang mengakhiri ‘perseteruan’ tidak penting di Senin pagi.

*

Nice to meet you, Saila,” kata Didit saat mereka berpisah di parkiran.

“Sama-sama, Dit.”

“Aku boleh telepon kamu, kan?”

Saila mengangguk.

“Sampai ketemu lagi, Saila…. Lang, Mon, terima kasih, ya!”

Saat Didit sudah berlalu dari pandangan, Monita menyikut pinggangnya lalu tersenyum-senyum pada Saila sembari melirik-lirik suaminya.

“Mas, Mas, kayaknya kali ini berhasil, deh.”

Mas Gilang hanya tersenyum sementara Saila mulai merasa salah tingkah.

“Monita, kamu ini…”

“Tapi aku nggak salah, kan, Sai?” potong Monita. “Tadi kamu terlihat enjoy sekali sama Didit. Pokoknya nggak seperti cowok-cowok yang dulu pernah aku kenalin ke kamu, deh!”

“Apaan, sih, Mon? Mas, Mas, bisa minta tolong, nggak? Istrinya dijagain, tuh… Lama-lama dia bisa jadi germo, lho.”

Monita mencubit pipinya sekilas.

“Ini, kan, karena aku care sama Saila, Mas,” rajuknya pada Mas Gilang yang hanya menonton mereka sambil tersenyum kalian-ini-kayak-anak-kecil-saja. “Ya, kan, Mas?”

“Kalau care itu, bayarin listrik, air, gas, belanja bulanan, dan biaya bensin setiap bulan, Mon, bukan jodoh-jodohin begini.”

“Kalau itu, bukan care lagi namanya, Sai, tapi kurang kerjaan dan lupa sama keluarga sendiri!” Mereka tertawa lagi.

“Tapi benar, kan, kamu enjoy sama Didit? Aku, sih, cuman melihatnya dari luar, Sai. Hati orang, siapa yang tahu, betul?”

Saila mengangguk.

“Jadi, jadi, benar kamu suka sama dia?” tanya Monita tidak sabar.

Sahabatnya tertawa. “Monita, aku nggak bisa, dong, langsung suka sama seseorang. For God sake, aku baru ketemu dia dua jam yang lalu, Mon.”

“Iya, iya, tapi kesan pertama adalah segalanya, kan?”

“Iya, tapi bukan berarti aku bisa langsung suka sama dia, kan, Mon?”

“Tapi, Sai…”

Ladies… please!” Mas Gilang menginterupsi sambil berjalan di tengah-tengah mereka dan membuat Monita berhenti nyerocos. “Urusan itu bisa diselesaikan di lain waktu, kan? Lain waktu, maksudnya, kalau aku nggak ada di antara kalian. Bisa bahaya, lho, kalau aku lapar lagi. Istriku bakal ngomel kalau makanku banyak, Sai... ”

Mas Gilang mencium kening Monita sambil mengedipkan matanya pada Saila yang tersenyum lega.

*

Malam, Saila. Sudah tidur?

+6281330127727

Mm, siapa ya?

Ini aku, Didit. Masa sudah lupa?

+6281330127727

Haha, maaf, Mas. Aku belum simpan no hp kamu. Belum tidur, lah. Masih sore.

Masih sore? Di rumahku sih sudah jam 1. Apa ada perbedaan waktu ya antara Surabaya barat dan utara?

+6281330127727

Ada dong. Coba kalau kamu ke sini, pasti jamnya sudah beda 45 menit J

Jadi aku boleh main ke rumah, kapan2?

+6281330127727

Selama bawa bekal sendiri dan nggak ngerepotin sih, ayuk aja.

Ada yang marah nggak? Nanti sampai di sana ada algojo yang siap ngebiri aku, awas ya J

+6281330127727

Untuk kunjungan pertama, aku mau sewa bodyguard, Mas. Untuk jaga2 aja

Minggu depan kita buktikan, deh. Tapi jangan sewa bodyguard yang gay ya, Sai. Aku takut dia naksir aku.

+6281330127727

Haha, hobi kok GR. Datang aja, Mas. Tapi bawa oleh2 ya…

It’s a deal. Ya sudah. Asal memang nggak mengganggu ‘hak milik’ orang lain, aku berangkat, kok! Benar, ya, nggak akan ada yang marah?

+6281330127727

Saila membayangkan wajah Ibnu sebentar, merasa hatinya pedih seketika, tapi ia memutuskan untuk segera membalas sms lelaki baik itu.

Benar, nggak ada. Percaya, deh.

Ibnu… Mbak minta maaf, ya…

No comments:

Post a Comment