Sunday, July 5, 2009

-2-

Resiko menjadi single di usia akhir tiga puluh dan mempunyai sahabat perempuan baik hati dan sudah menikah adalah satu: rela menjadi target empuk untuk memuaskan hobi ‘menyambung jodoh’ sahabatnya. Setiap ada kenalan baru, atau kebetulan si suami punya rekan bisnis yang lumayan berprospek, langsung, deh, yang teringat oleh Monita adalah merancang double date untuk Saila. Entahlah, sudah berapa lelaki yang ikut jadi korban. Mulai Bram, si player yang jumlah pacarnya lebih banyak dari jumlah sepatu Saila, sampai Harindra, yang ternyata setelah dua bulan jalan dengan Saila baru ketahuan kalau gay!

Tapi, atas nama ‘persahabatan’, Saila tetap tidak pernah bisa menolak ajakan Monita yang selalu saja mengatakan, “Yang ini pasti kamu cocok, Sai!”

Dan parahnya, tidak pernah ada yang cocok…

Seperti sekarang. Belum sepuluh menit Monita memperkenalkan Bayu, Saila sudah mulai ‘menjadi Hakim’. Ya. Hakim. Dia menilai tatanan rambutnya yang oh-so-last-year, noda luntur di kemejanya, sepatunya yang tidak matching, apa lagi? Oh ya, belum lagi cara Bayu mendominasi setiap pembicaraan dengan Bayu-tuh-gini-Bayu-tuh-gitu! Benar-benar bukan lelaki yang bisa membuatnya menginginkan pernikahan, tentunya!

“Gimana, Sai? Lumayan, kan?” Tanya Monita saat mereka ijin sebentar ke kamar mandi, yang bukan untuk pipis atau BAB, tapi lebih karena ingin bergosip dan membetulkan dandanan.

“Lumayan, katamu? Mon, daripada dia, mendingan aku rela pacaran sama Harindra, deh, biarpun harus rela melihat dia ciuman sama cowok!” Saila memoleskan lipsticknya lalu memonyongkan sebentar. “Memangnya, kamu ketemu dia di mana, sih? Jangan bilang baru ketemu tadi pagi, deh…”

Monita tertawa. Kecil. “Reseh amat, sih, kamu, Sai. Ya, nggak, lah. Nggak mungkin aku cari laki-laki yang asal ‘nemu’ buat sahabatku tersayang. Bayu itu, kan, teman adiknya Mas Gilang. Suamiku sendiri yang nyuruh aku untuk jodohin dia sama kamu, lho, jadi kali ini, aku nggak ikut menyeleksi kandidat suami kamu…”

“Oooh. Jadi dengan kata lain, kalau kamu yang pilih, berarti prospeknya lebih cerah, begitu?”

Monita manggut-manggut.

“Soal playboy-playboy sok ganteng yang kemarin dulu itu, gimana? Atau, aku perlu mengingatkan kamu lagi soal Harindra? Atau si reseh Bram? Oh Tuhan, jangan pura-pura amnesia, deh, Mon…”

Kali ini Monita tertawa. Si cantik berambut pirang buatan dan lurus sampai pinggang itu mencubit pipinya. “Kamu itu terlalu selektif, Sai, terlalu banyak menimbang-nimbang, dan ujung-ujungnya sendiri-lagi-sendiri-lagi.”

“Memangnya, kenapa sih, Mon, kalau aku sendiri-lagi-sendiri-lagi? Apa jadi single itu sudah dilarang, ya? Peraturan nomor berapa, Mon? Sanksinya apa?”

“Mulai, deh, sensi,” sahut Monita sambil mengelus pundak sahabatnya. “Sah-sah aja, kok, untuk jadi single, tapi… yang nggak boleh itu, jadi single dan meratapi hidupnya yang selalu sepi! Itu yang nggak boleh…”

Am I that pathetic?

“Saila, sampai kapan mau hidup di masa lalu?” Monita mengucapkannya seperti berbisik.

“…?”

“Kapan kamu bisa melupakan Biyan?”

“…”

“Kapan kamu berhenti menyakiti dirimu sendiri, Sai? Dia itu bajingan… Dia itu garbage, trash, shit. Seluruh kosa kata preman di Brooklyn nggak akan pernah cukup untuk bisa menggambarkan Biyan! Please, Saila, aku tahu, kamu bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih hebat daripada dia… Seseorang yang pastinya hanya membuatmu menangis karena bahagia…”

What if ‘that someone’ is Ibnu? Atau yang lebih parah, bagaimana kalau that someone nggak akan pernah datang dalam hidupku?

Sentuhan kecil di pundak Monita membuatnya ‘tersadar’.

“Ya sudah, kamu pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah. Sekarang, kita pura-pura ‘senang’ aja supaya Mas Gilangku ngasih jatah malam ini…” tukas Monita sambil tersenyum genit dan mengajak Saila keluar dari kamar mandi dengan pertanyaan-pertanyaan tadi yang tak pernah habis terbayang meski terpejam.

No comments:

Post a Comment