Sunday, July 5, 2009

-9-

Siang itu, hari pertama Ibnu datang ke rumah dan wajahnya seperti tumpukan kangen yang tertahan. Senyumnya sangat lebar, pelukannya sangat hangat, dan Saila hampir tidak bisa bernafas ketika Ibnu tidak melepaskan pelukannya selama beberapa menit.

“IBNUUU… Mbakmu ini masih pingin hidup, lho…” Saila mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Dia memang sangat menikmati pelukan hangat itu, setelah sekian lama dia mencoba menjadi ‘wanita sesuai umur’ setiap ia bersama Mas Didit. Entahlah, setiap ia bersama Ibnu, sepertinya ia kembali menjadi ‘anak kecil yang menikmati permennya’.

Sorry, Mbak, abis kangen sih…”

“Kangen, ya, kangen, Nu, tapi nggak usah sampai bikin aku sesak nafas, dong… Mm, minum, ya?”

Saila berjalan ke dapur dan mengambil satu kaleng minuman bersoda kesukaan Ibnu. Saat di dapur, dia melihat Mbok Darmi yang memandanginya dengan pandangan aneh.

Ah, terserah, deh, Mbok Darmi mau bilang apa… Melaporkan pada Monita? Atau bahkan langsung pada Mas Didit? Terserah saja. Aku lagi kangen, nih, sama Ibnu. Sekali-sekali, aku ingin menjadi diriku sendiri…

“Tadi langsung ke sini, Nu?”

“Iya, dong. Lihat aja, tuh, ranselnya masih penuh baju kotor semua. Titip cuci, dong….”

Saila tahu Ibnu hanya bercanda, meskipun seringkali Saila merasa kasihan dengan anak kost seperti dia. Tapi setiap dia merasa ingin membantu Ibnu membantu pekerjaan rumahnya, lelaki muda itu yang menolaknya dan berkata, “Aku bukan anak kecil, Mbak. Ibu Bapak sudah melepaskan aku ke Surabaya karena mereka tahu aku bisa hidup mandiri.”

“Nu, Ibu sama Bapak apa kabar, ya?” Dia jadi bertanya soal kedua orang tua Ibnu. Tiba-tiba saja hal itu terlintas dalam pikiran Saila.

“Kenapa, Mbak? Kok tiba-tiba nanya seperti itu, sih?” tanya Ibnu heran. Setelah setahun menjadi orang terdekat Saila, rasanya baru hari ini orang cantik itu bertanya soal orang tuanya.

“Ng… nggak ada apa-apa, aku hanya ingin tahu kabarnya saja, kok. Kamu, kan, nggak pernah cerita mereka seperti apa, kabar mereka bagaimana…”

“Baik, kok, Mbak. Waktu KKN kemarin aku sempat pulang ke Jogja. Sowan keluarga, kangen Bapak Ibu, dan… cerita soal Mbak Saila.”

Saila terkejut. “Kamu cerita soal aku, Nu?”

“Iya. Siapapun perempuan yang aku sayangi, pasti mereka tahu, kok, Mbak.”

Saila masih belum bisa melepas rasa terkejutnya. Bagaimana mungkin Ibnu bisa cerita soal dirinya ke orang tuanya? Mungkinkah dia menyelipkan kebohongan di sana sini supaya yang terkesan adalah Saila-yang-baik-baik-dan-pantas-untuk-anaknya? Saila terdiam dan membiarkan Ibnu melanjutkan ceritanya.

“Aku cerita kalau Mbak Saila itu yang jadi pembimbing aku saat magang kemarin. Aku juga cerita kalau Mbak Saila itu nggak hanya cantik, tapi juga baik hati. Dan, pastinya,” kata Ibnu sambil memandangnya lembut, “Aku juga cerita kalau Mbak Saila sudah 39.”

Saila menelan ludahnya. Tiba-tiba dia merasa gerah dan gelisah.

Aku sudah siap kecewa kalau setelah ini kamu bilang Bapak Ibu nggak suka kamu dekat sama aku, Nu…

“Mereka…”

“….”

“… ingin ketemu Mbak Saila bulan depan.”

Kalimat terakhir itu seperti daging kenyal yang susah terkunyah sempurna di geliginya. Saila benar-benar tidak mempercayai pendengarannya, apalagi wajah Ibnu begitu cerah dan ceria saat mengatakannya.

“Ibnu…”

“Mbak, mereka ingin tahu lebih banyak soal Mbak Saila…”

“Tapi, Nu…”

“Dan apapun hasil penilaian mereka, Mbak masih ingat, kan, kalau aku pernah bilang nggak akan segan untuk mengajak Mbak Saila pergi? Dan aku akan selalu menyimpan janjiku, Mbak.”

“Tapi, Nu…”

“Mbak masih nggak percaya? Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan hidupku sendiri, Mbak. Tahun depan aku sudah dua satu, lulus kuliah, dan semoga perusahaan yang sekarang memenuhi janjinya untuk mengangkat aku jadi staf tetap.”

“Nu…”

“Mbak, aku sayang banget sama Mbak Saila… Aku nggak pernah main-main dengan kata-kataku, Mbak… Please, Mbak, dengarkan aku…”

“Ibnu,” potong Saila dengan mata perih menahan air mata. “Kamu yang harus mendengarkan aku.”

Ibnu menatapnya dengan pandangan heran. Air mata Saila seperti ingin segera turun dari kedua mata indahnya dan perasaan Ibnu mulai meraba kalau telah terjadi sesuatu.

“Kenapa, Mbak? Ada apa?”

“Nu…”

“Iya, Mbak…?”

“Aku….”

“…”

“Sepertinya kita harus berhenti sering bertemu seperti sekarang…”

“….”

“Sepertinya kamu harus berhenti berharap kita bisa menikah…”

Ibnu menatapnya sambil berkata, “Kenapa? Waktu terakhir kita melihat bintang malam itu, Mbak Saila bilang kalau ingin menjalaninya seperti air, kan? Terus, kenapa sekarang begini, sih, Mbak? Kenapa tiba-tiba Mbak menyuruh aku berhenti punya harapan?” Lelaki muda itu terlihat putus asa. “Mbak… Atau Mbak Saila sudah ketemu sama laki-laki lain…”

“Namanya Didit, Nu,” tukas Saila, mencoba untuk setegar mungkin. “Dia teman baik suaminya Monita yang baru pulang dari luar negeri.”

Ibnu masih memandangnya tak percaya, seperti mencari ‘kebohongan’ yang bisa tertangkap lewat kegugupan dari pandangan mata Saila, tapi kemudian dia menyerah, karena mata cantik itu malah menitikkan air mata.

Tanpa berpikir, Ibnu langsung memeluk tubuh Saila dan menyimpan tubuh yang bergetar itu dengan satu pelukan yang kuat. Saila menumpahkan air matanya di sana dan membiarkan Ibnu mengelus rambutnya.

“Nu, aku… aku… minta maaf…”

Lelaki itu tak berkomentar, dia hanya memeluk Saila dan merasa jantungnya seperti berdetak lebih kencang.

“Aku tahu, dari awal, harusnya aku nggak membuatmu berharap terlalu tinggi… dan membiarkan kamu larut dengan mimpi-mimpimu, Nu. Kamu masih sangat muda, Nu, masih banyak perempuan seumuran, bahkan lebih muda, yang bisa menjadi pasangan hidup kamu, Nu. Suatu saat nanti kamu akan tahu kalau semua yang kulakukan ini demi kebaikanmu sendiri…”

“Bukan kebaikan Mbak Saila?” potong Ibnu. “Mbak, semua ini bukan tentang aku, kan? Tapi ini semua tentang ketakutan-ketakutan Mbak Saila untuk terluka lagi, untuk dikhianati lagi, untuk ditinggalkan lagi, lalu berlari dari kenyataan kalau Mbak Saila itu sebenarnya hanya ingin mencari posisi yang aman saja?”

“IBNU! Kamu keterlaluan…” Mata Saila memerah. Seperti telinganya yang mendengar kenyataan hidupnya seperti terceritakan dengan runut oleh lelaki terbaik di dalam hidupnya itu.

“Mbak, aku akan pergi,” timpal Ibnu, “Tapi ada satu pertanyaan terakhir sebelum aku pergi.”

Saila menunduk, tak berani mengangkat wajahnya dan melihat kesedihan di wajah Ibnu. Lelaki itu mengangkat wajahnya dengan ujung jari-jari kanannya.

Is this what you really, really, want?” Usai bertanya, Ibnu menghela napasnya dengan berat dan menghapus air mata yang mengambang sedikit di kedua matanya, kemudian pergi meninggalkan Saila yang segera berlari ke kamarnya dan menangis hebat di sana.

Ibnu berjalan meninggalkan rumah, mencari taksi untuk membawanya kembali ke tempat kosnya. Hatinya pedih, perih, dan sungguh, bukan ini yang terbayang di wajahnya ketika berencana untuk datang mendadak ke rumah Saila.

Sebetulnya, dia datang ke rumah ini, membawa kabar bahagia, karena kemungkinan, Bapak dan Ibu merestui hubungan mereka berdua. Orang tua Ibnu memang bukan orang Jawa kolot yang sangat mengagung-agungkan hirarki, mereka hanya orang tua yang menganggap apapun pilihan anak mereka, tugas mereka sebagai orang tua hanyalah memberi nasehat, bukan pembuat keputusan.

Seandainya Saila tahu, sebetulnya, tujuan Ibnu kemari adalah untuk bilang, “Aku cinta kamu, Sayang. Kamu mau menunggu sampai aku lulus tahun depan?” Dan sayangnya, pujaan hatinya itu telah mengambil keputusannya.

No comments:

Post a Comment