Sunday, July 5, 2009

-1-

Sepotong brownie masih tergeletak di atas piring. Saila meliriknya dengan pandangan yang pingin-enggak-pingin. Tapi kemudian dia menyerah setelah membayangkan betapa kalori yang ada di dalam kue enak itu akan jadi “penyengsara” untuk program diet ketatnya. Percuma, dong, dia membayar mahal (dan menghabiskan hampir sepertiga gajinya!) tapi kalau pada kenyataannya dia masih bandel seperti ini?

Mengingat pengorbanannya itu, Saila mengurungkan niatnya untuk mengunyah brownie dan mulai berkonsentrasi mengerjakan monthly review yang sebentar lagi akan deadline.

Tillliiillliiitttt…Tiiilllliiillliiittt…

Telepon di mejanya berbunyi. Saila mengangkatnya dengan mata masih tertuju di layar monitor. “Sai… nggak pulang?” Suara Monita, senior marketing cantik dan cerewet yang sudah tiga belas tahun ini menjadi ‘teman tebengan’nya.

“Ya ampun, Mon! Sorry, tadi aku lupa bilang kalau mau lembur! Kamu pulang duluan, gih. Nanti biar aku naik taksi aja!”

“Kenapa nggak minta jemput si Brondong itu, sih, Sai?”

Wajah ‘Brondong’ itu menciptakan segaris senyum di wajah Saila. Entah kenapa, hanya dengan mengingat lelaki itu, hatinya seperti bergetar dan membuatnya ingin tersenyum atau lebih ekstrim, tertawa-tawa sendiri!

“Besok ada UAS, katanya. Dia, sih, maksa, Mon, tapi aku yang nggak enak.” Saila memang menolaknya. Dan tahu benar, kalau lelaki yang satu itu akan mengorbankan segalanya untuk dia. “And by the way, namanya Ibnu.”

Monita tertawa. “Males ah… Lebih enak panggil dia ‘Brondong’! Kayaknya itu lebih pantes, deh, Sai!”

“Ya, sudah. Terserah, deh. Mau disebut Brondong kek, apa dadar jagung, jagung manis… atau apalah, whatever. Yang penting… dia tetap jadi the most beautiful boy in my eyes!”

Suara kekehan Monita masih terdengar di seberang. Boy, katamu? Jadi kamu sadar, dong, kalau dia bukan ‘man’?”

“Sudah, dong, Mon, jangan mancing-mancing perdebatan lagi, ah. Aku lagi nggak mood buat debat kusir, nih,” tukas Saila setelah menahan nafasnya. Kalimat-kalimat yang ‘menjerumuskan’ itu seperti amukan badai buat hatinya. Sakit, pedih, tapi ia tak bisa berlari menghindari, kecuali tersedot dalam pusaran puting beliungnya.

“Iya, deh, iya. Tapi kamu jangan terlalu sensitif begitu, dong, Sai. Ini baru aku yang komentar, lho. Coba kalau orang lain? Siap-nggak-siap, tuh!” Monita berkomentar seperti biasa. Dia memang sayang sekali pada Saila, tapi terkadang, perempuan yang sering ‘menderita lahir batin’ karena lelaki itu, lebih memilih menutup mata dan hanya membuka hatinya lebar-lebar. Padahal, ada beberapa yang tetap harus ‘terlihat’ tidak hanya dengan mata batin, tapi mata jasmaniah. “Ya, sudah, aku pulang duluan, ya? Kamu jangan lembur terlalu malam, lho, Sai. Ingat, minggu kemarin kamu baru ‘lolos’ dari dokter Hadi! Lagian, itu diet kok malah bikin sakit, sih…” Monita mengakhirinya dengan berkata, “Dah, Sai…”

“Dah…”

Usai menutup telepon dari Monita, Saila malah menyandarkan tubuhnya di kursi dan mendorong laci keyboardnya ke dalam. Pikirannya berlarian, berloncatan, mencari-cari jawaban yang pasti untuk pertanyaan ‘mudah’ tadi.

“Ini baru aku yang komentar,lho. Coba kalau orang lain?”

Karena, satu hal yang pasti, tidak akan ada yang bisa semengerti Monita…

*

Mbak, ikut aku, yuk? Aku capek belajar terus, nih! Bisa kan? Forget the diet, deh! Ikut aku aja yaa…

Ibnu.

Saila berbaring di atas ranjangnya dan memandang langit-langit kamarnya yang mulai bernoda karena bekas bocor beberapa bulan yang lalu. Dia membayangkan Ibnu, membayangkan senyum terindah yang pernah dia lihat, membayangkan pelukan terhangat yang pernah memeluk tubuhnya, atau bibir paling menggairahkan untuk dicium (meskipun niat itu hanya terlintas ketika Saila memandangnya).

Lelaki istimewa. Dengan proporsi yang sangat spesial. Penampilan, isi otak, isi kantong... semuanya merupakan perpaduan apik yang membuatnya selalu menjadi pusat perhatian. Saila malah sering membaca sms-sms genit di telepon selular Ibnu, yang katanya, sih, dari teman-teman kuliahnya di fakultas Hukum atau anak-anak SMU yang sering ‘menontonnya’ saat melatih basket di SMU Pelita.

Setiap mengingat Ibnu, hatinya memang selalu berdesir.Entah karena kangen, entah karena lelaki itu terlalu menarik, atau karena perasaan ‘bersalahnya’ pada dirinya sendiri.

Ya. Guilty feeling. Perasaan menyakiti dirinya sendiri karena membiarkan hatinya berkembang terlalu heboh dari yang bisa ia kendalikan. Ibnu hanya ‘si kecil’ yang bisa mengisi harinya, bukan ‘lelaki di masa depannya’. Jadi buat apa membiarkan hatinya ‘senang duluan’ kalau akhirnya dia harus melupakan Ibnu lalu mulai sakit hati lagi?

Dia berguling ke pinggir ranjang, kemudian duduk di sana, sambil memandang pantulan wajahnya sendiri di meja besar dekat lemari pakaian. Wajahnya memang cantik. Kulitnya juga putih. Tapi kerut itu? Hm… entah berapa lama lagi kerut-kerut itu akan jadi ‘stempel abadi’ di keningnya dan di sekitar mata serta bibirnya.

Kemudian ia berdiri. Melihat dirinya dari samping kiri, lalu kanan, menatap punggung dan menunggingkan pantatnya, lalu mendekati cermin lagi.

Lihat, Sai. Kamu cantik sekali, kan? Badanmu masih kencang. Hm, atau mungkin perlu dikuruskan sedikit lagi, ya? Pahanya itu lho… Tapi… kamu cantik, kok. Rambutmu bagus, Sai. Keriting, kan, mulai trendy lagi sekarang. Terus… ya ampun, Sai, coba lihat bibirmu itu. Seksi berat! Kamu benar-benar cantik, Sai, seperti kata Biyan, kamu itu memang extraordinary

“Terus kenapa waktu itu kamu malah meninggalkan aku, Bi?” Saila merintih sendiri. Berbeda dengan mengingat Ibnu yang selalu membuatnya tersenyum bahagia, setiap kali mengingat Biyan, yang terbit di hatinya hanya perasaan sedih dan ‘menderita’. Mm, mungkin bukan hanya itu, dia selalu ingin menangis atau menitikkan sedikit air mata sebelum mulai melupakan Biyan, lelaki indah yang menjadi mimpi buruk yang paling nyata di dalam hidup Saila.

Dan benar, Saila menangis, tapi dengan cepat ia menghapus air matanya dengan ujung t-shirt. Iangan suara Monita membuatnya mencoba mulai mencari pegangan, He’s not worth it, Saila. Dia nggak akan pernah pantas, bahkan buat jadi keset kaki kotor kamu!”

Biyan. Si Keset, yang telah meyakinkan Saila bahwa cinta dan luka adalah satu kombinasi yang sangat istimewa.

Lagi bobo, males bales sms, atau ngga ada pulsa?

Ibnu.

Ibnu. Si Brondong, yang selalu tahu bagaimana caranya membuat Saila tertawa…

No comments:

Post a Comment