Sunday, July 5, 2009

-3-

“Mbak, coba tebak, semester ini IP-ku berapa, hayoo?”

“Mmm… pastinya tiga koma, ya? Berapa, sih?”

“Kalau bagus, minggu depan kita kencan lagi, ya? Gimana?”

Saila tertawa. “Haha, Ibnu... Ibnu... Kamu itu lucu banget, sih! Yang sekarang aja belum selesai, kok, kamu sudah mau mengajak kencan lagi...”

“Ini namanya strategi, Mbak. Abis, mbak Saila susah diajak ketemuan, sih! Kebanyakan alasan! Kalau nggak lembur, ya lagi capek. Kalau nggak capek, ya lagi bokek. Kalau aku yang traktir bilang lagi malas keluar. Begitu aku mau main ke rumah, yang ada Mbak Saila bilang mau pergi karena ada urusan mendadak. Ditungguin di depan rumah, eh bilangnya ngantuk. Huh…”

Wajah Ibnu yang merengut manja membuat Saila mengacak rambutnya dengan sayang. Desir hatinya kembali terasa. The zsa zsa zsu, sebuah istilah Carrie Bradshaw di serial favoritnya Sex and The City untuk nama lain dari “butterfly”, getaran aneh di perut setiap kita berdekatan dengan orang yang kita cintai.

Ibnu malah meraih jemarinya.

“Mau sampai kapan, sih, Mbak menghindari aku terus? Apa nggak capek, ya, lari-lari terus? Apa justru itu, ya, yang bikin Mbak Saila langsing seperti sekarang ini?” Ibnu tertawa sambil terus meremas jemari Saila perlahan, dengan sayang dan lembut.

Saila membiarkan Ibnu dan memandang lelaki muda yang duduk di depannya. “Sebelumnya, asal tahu aja, Nu. Aku langsing karena diet, bukan karena lari-lari menghindar dari kamu,” tukasnya sambil tersenyum. “Dan… satu hal yang pasti, aku menghindar untuk kebaikan kamu sendiri.”

Kalimat itu selalu menjadi jawaban standar untuk pertanyaan Ibnu setiap mereka bertemu. Biasanya, setelah itu Ibnu akan membalasnya dengan bertanya, “Yang tahu apa yang baik buat aku, kan, aku sendiri, Mbak.” Dan iya, akhirnya dia bertanya hal yang sama setelah menunduk sebentar lalu memandangi Saila yang menatapnya dengan pandangan lihat-dek-aku-sudah-terlalu-tua-buat-kamu.

Dia hanya menambahkan beberapa kalimat ini, “Mbak, bisa nggak, sih, Mbak Saila melihat aku nggak dari umur? Bukan dari kemasan? Tapi dari ini…” Ibnu membawa tangan Saila ke dadanya. “Hati nggak pernah bohong, Mbak. Aku say…”

“Ssstt, Ibnu. Sudah, ya?” potong Saila sebelum Ibnu melontarkan ‘kalimat sakti’nya. Dia sudah terlalu sakit hati karena Biyan dan dia tidak mau memanjakan perasaan sedihnya dengan mencintai lelaki yang salah. Not again. “Mbak masih harus kembali ke kantor, nih. Bisa kita selesaikan makan siangnya?”

*

Oh ya, IPku 3,78. Barangkali masih minat untuk ketemuan lagi sama aku.

Ibnu.

Ibnu mengirimnya sms, tepat setelah Saila tiba kembali di kantor dan mulai mengerjakan tugas-tugasnya. Mau tak mau, Saila tersenyum, meskipun perih, karena dia merasa telah menyakiti Ibnu dan membuatnya sedih.

Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih, Nu…

Ini cuman satu-satunya jalan supaya kita nggak berjalan terlalu jauh…

Saila meletakkan telepon selularnya di atas meja sebelum mulai melanjutkan laporan mingguannya sembari melupakan wajah Ibnu yang sedih, beberapa saat yang lalu. Seperti biasa, dia sibuk-sibuk-dan sibuk sepanjang hari. Untuk seorang Manager seperti dia, rasanya pekerjaan adalah “teman baiknya”. Itulah mungkin yang membuat Monita seperti risih karena melihat Saila sangat menikmati pekerjaannya dan melupakan ‘kehidupannya’.

“Sibuk, nih, ye?” Tiba-tiba kepala Monita muncul dari balik monitor dan sempat membuat Saila sport jantung sedikit.

“Ih, awas kamu, Mon! Kalau aku mati kena serangan jantung, gimana?” tukas Saila sewot.

“Ya, standar lah. Dikubur. Emang kamu mau diapaain? Dikremasi, terus abunya dibuang ke laut?” Monita tertawa.

“Uh, dasar Sableng!” Saila melempar gulungan kertas ke Monita sambil tertawa. “Kerja, sana, jangan makan gaji buta, deh!”

“Haha, mendingan gaji buta, deh, daripada nggak digaji sama sekali!” Monita masih tertawa. “Lightened up, Sai, jangan serius terus, ah, nanti mukamu jadi kayak komputer, lho, kotak-kotak!”

“Sudah terlanjur, Mon, sudah paten.” Saila membalasnya.

“Kamu ini…” Monita duduk di sampingnya. “Mm… Sai, Sai, tadi pas aku main ke ruang finance, aku curi dengar gosip tentang kamu, lho…”

Mendengar kalimat itu, Saila langsung menoleh dan menghentikan kegiatan ketik-mengetiknya. “Yaa..? Apa lagi sekarang?”

“Biasalah, gosip yang kemarin itu…”

“Soal aku sama Ibnu?”

Monita mengangguk.

“Terus?”

“Katanya kamu yang ngejar-ngejar Brondong itu, Sai…”

“…”

“Katanya lagi, si Brondong sudah ditentang habis-habisan sama orang tuanya dan kamu yang menyembah-nyembah Brondong supaya nggak meninggalkan kamu…”

“…”

“Terus, parahnya… katanya kamu itu… mmm… gimana, ya, Sai? Aku nggak tega cerita…”

“Cerita aja, deh, Mon,” potong Saila dengan jantung yang berpacu lebih kencang dari biasanya.

Monita menggenggam tangannya. Saila sudah meraba bahwa kalimat berikutnya akan sangat membuatnya sakit hati.

“Sai, kamu sabar yaa… Mmm…mereka bilang… mmm… kamu ini cuman… mmm…. manfaatin si Brondong buat seks…”

No comments:

Post a Comment