Sunday, July 5, 2009

-6-

Yes. Officially, I’m turned 39.

Ibnu hanya tersenyum. “Perempuan umur 39 yang paling cantik di mataku, Mbak.”

Saila membiarkan Ibnu merangkul pundaknya dan mereka bersandar di punggung kursi teras sambil memandang apa saja yang terbentang di atas langit. Rasanya dia memang masih membutuhkan Ibnu untuk melewatkan hari ini. Dia belum ingin menyuruh Ibnu pulang untuk ‘kembali’ ke dalam hidupnya seperti setiap kali Saila merasa lelaki ini telah memasuki hatinya terlalu dalam.

“Nu, boleh tanya, nggak?”

Ibnu hanya meng-ehem tanpa berkata apapun, tapi merangkul Saila lebih erat. Saila merapatkan tubuhnya dan membiarkan aroma tubuh Ibnu melekat sempurna di tubuhnya.

“Kenapa tadi lilinnya hanya satu, sih? Nggak kenapa-kenapa, kok, Nu, kalau kamu taruh angka 3 dan 9 di atas kue tar… Bagaimanapun, itu tetap umurku, kan? Aku, sih, nggak keberatan, Nu…”

Ibnu menoleh dan menatap kedua mata Saila.

“Mbak, aku juga nggak keberatan dengan umur Mbak yang 39, kok. Cuman tadi aku memang nggak sempat beli dan yang ada cuman lilin-lilin kecil itu… Tadinya mau aku taruh semuanya, tapi nggak cukup, Mbak… Terlalu banyak, sih…” Ibnu menyengir genit lalu mencubit ujung hidung Saila sekilas sambil mengatakan, “Aku bercanda, kok, Mbak… Satu batang itu artinya tahun pertama aku merayakan ulang tahun Mbak Saila…”

Saila tersenyum. “Ibnu, Ibnu, sudah, deh. Aku memang sudah tua, kok. Tahun depan aku 40… Laki-laki mana yang mau sama aku, ya?”

“Nggak usah repot-repot mencari, deh, Mbak, kan sudah ada aku,” tutur Ibnu dengan senyumnya yang khas. “Sampai berapapun umur Mbak Saila, aku tetap mau, kok, percaya, deh.”

Sampai aku kehabisan duit untuk suntik botox dan ikut program pelangsingan, kamu tetap mau sama aku, Nu? Sampai aku menyerah dengan kulitku yang mengendur, perutku yang buncit, dan wajahku yang sudah tidak segar lagi, kamu masih menganggapku perempuan yang cantik? Bisakah, Nu? Bahkan saat Biyan melihatku di ‘masa-masa keemasanku’, dia malah memilih Nyna, bukannya aku…

Hati Saila bergetar.

“Kita jadi membahas ini lagi, Nu, padahal Mbak capek harus terus-menerus mengulang-ulang hal yang sama…”

“Tapi aku nggak akan pernah capek untuk bilang sama Mbak kalau aku…”

“Ibnu, please.” Saila memotongnya. “Aku nggak ingin memikirkan apa-apa malam ini, selain duduk berdua sama kamu, dan melihat bintang-bintang. Kita jalani aja semua ini seperti air, Nu,” tukas Saila sambil menoleh dan memandangi Ibnu yang seperti menahan perasaannya. “Boleh, ya? Ini kan hari ulang tahunku…”

Ibnu hanya mempererat pelukannya lalu memandang langit.

Sambil menyandarkan tubuhnya dan merasakan kehangatan tubuh Ibnu, Saila ikut menatap langit dan larut dalam diam. Dia tidak melihat Mbok Darmi yang diam-diam memperhatikannya di balik jendela, hanya ikut tersenyum dan menitikkan air mata harunya. Mbok Darmi yang selalu menganggap Saila adalah anak gadisnya sendiri, serta menganggap Ibnu adalah lelaki yang tepat di waktu yang salah.

Saila memandangi Ibnu diam-diam dengan ujung matanya.

Ibnu…

Asal kamu tahu, sesaat sebelum meniup lilin tadi, aku berharap kamu bukan lagi dua puluh, tapi tiga sembilan…

No comments:

Post a Comment