Sunday, July 5, 2009

-8-

“Aku dengar kamu sudah beberapa kali kencan sama Mas Didit, ya, Sai? Ngaku, deh…” tanya Monita saat mereka makan siang di Amigos, alias agak minggir got sedikit.

“Mmm… sejak kapan kamu punya waktu untuk jadi mata-mata?”

“Sejak aku punya uang untuk bayar Mbok Darmi supaya dia buat laporan harian buat aku, Sai!” Monita tertawa. “Apa susahnya, sih, Sai, tanya sama Mbok Darmi? Dia, kan, yang paling bahagia kalau kamu dekat sama seseorang…”

“Mungkin dia kasihan melihat aku sendirian terus, Mon.”

“Atau kesal karena kamu sok selektif dan menempatkan luka hati di masa lalu di atas segala-galanya?”

Monita ingat bagaimana Biyan telah menciptakan luka itu dan tidak ada satupun lelaki yang bisa membuat sahabatnya tertawa dengan hati yang bahagia, kecuali… ya, mungkin hanya dengan Brondong satu itu. Lelaki baik, tapi salah, itu.

“Apa kabarnya, ya, si Brondong?” tanya Monita tiba-tiba.

Saila meneguk es teh tawarnya. “Ibnu? Dia lagi KKN,” sahutnya pendek.

“Oh ya? Kapan baliknya?”

“Nggg.. Belum pasti juga, sih, Mon. Kata Ibnu, sih, masih memungkinkan ada perubahan rencana. Bisa lebih lama, bisa tepat waktu, tapi nggak akan bisa lebih cepat dari jadwal.”

“Kamu nggak telepon dia?”

“Nggak ada sinyal, Mon. Dia malah bilang kalau telepon aku itu butuh perjuangan.”

“Kenapa?”

“Karena harus menempuh waktu dua jam untuk sampai ke wartel terdekat.”

“Jadi, dia nggak tahu kamu lagi dekat sama Mas Didit?”

Biasanya Ibnu selalu jadi orang pertama yang tahu lelaki mana yang sedang dekat dengan aku, tapi entah kenapa aku nggak pernah menceritakan soal Mas Didit padanya… Tanpa alasan yang jelas, yang pasti hanya aku nggak ingin melukai dia.

Saila menggeleng.

Monita menghela napasnya lalu menyentuh jemari Saila dengan lembut.

“Saila, kenapa kamu nggak…”

“Mon,” potong Saila dengan suara yang bergetar, “Waktu itu kamu tanya, kan, Ibnu itu ‘apa’ buat aku?”

Monita menunggunya.

“Dia…” Saila menunduk sebentar sebelum berkata, “…segalanya.”

*

Mas Didit sudah berteman baik dengan Mbok Darmi setelah dua bulan yang intensif dia berkunjung ke rumah Saila, entah sekedar mengantarkan pulang, atau memang sengaja berkunjung dengan membawa banyak oleh-oleh. Mbok Darmi memang yang paling antusias setiap mendengar derum suara mobil Mas Didit berhenti di depan rumah Saila, dia pula yang tergopoh-gopoh membukakan pintu pagar dan menyuruh Mas Didit masuk ke ruang tamu lalu membuatkan secangkir kopi susu kesukaannya.

Saila tahu, Mbok Darmi memang terjangkit virus ‘Mas Didit-isme’. Dia juga tahu, apa alasan Mbok Darmi begitu ‘mencintai’ lelaki empat puluh tiga yang betah menduda karena belum bisa menemukan wanita yang tepat untuk mengganti mendiang istrinya yang meninggal lima belas tahun yang lalu. Karena Mbok Darmi tahu, lelaki ini yang paling tepat untuk ‘anak kesayangannya’, Saila.

“Non Saila, Pak Didit sudah datang…” Mbok Darmi berkata dari balik pintu.

“Suruh tunggu sebentar, Mbok, sedikit lagi aku selesai…”

Hari ini Mas Didit berencana mengajaknya ke pesta ulang tahun Agung, keponakan tersayang dari adik perempuannya, Kinan. Mas Didit sudah mengajaknya sejak dua minggu yang lalu, tapi Saila baru memberinya jawaban setelah menimbang-nimbang dan akhirnya berkata “ya” beberapa jam yang lalu.

Datang ke pesta ulang tahun keponakan adalah peristiwa besar dalam hidupnya. Tiga belas tahun yang lalu adalah saat terakhir dia merasakan “kebersamaan” dengan keluarga besar kekasih. Selama sembilan tahun, Biyan sudah membuatnya mengenal betul setiap karakter adik-kakaknya, om-tantenya, sepupu atau keponakan-keponakannya, bahkan eyang dan buyut yang selalu gembira setiap bertemu dengan Saila. Kini, dia sudah merasa canggung untuk “berbasa-basi” dengan keluarga besar seseorang, apalagi statusnya masih “tidak jelas” seperti ini.

…no matter what I do, all I think about is you… and even when I’m with my Boo…

“Ya, Mon?”

“Wah… mau kencan ya, Jeng?”

“Haha, berapa banyak, sih, yang kamu bayar ke Mbok Darmi sampai tahu banget aku mau keluar sama Mas Didit?”

Monita tertawa. “Yang pasti, jatah jajan anak-anakku banyak berkurang gara-gara kamu, Sai!”

“Huh, itu ibu yang nggak bertanggung jawab, tuh! Menyengsarakan anaknya demi gosip!”

“Hahahaha... abis aku senang sekali, sih, Sai, setelah sekian lama menjodoh-jodohkan kamu sama teman-temanku dan Mas Gilang, akhirnya dapat juga yang cocok! Kalau tahu akan begini, kenapa nggak dari dulu aja, ya, aku kenalin kamu sama Mas Didit?”

“Semuanya, kan, sudah ‘diatur’, Mon, jadi kamu, sih, nggak salah-salah amat lah!”

“Ya, memang jelas nggak salah, dong…”

“Huh, dasar! Ya, sudah, ya, Mon. Aku mau siap-siap, nih! Mas Didit malah sudah menunggu di ruang tamu.”

“Iya, iya. Salam buat Mas Didit, ya, Sai…”

Saila meletakkan ponselnya di atas meja lalu mulai mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Rambutnya yang keriting semakin seksi dengan sentuhan akhir foam yang wangi. Hm, apa kata keluarga Mas Didit nanti? Bisakah mereka melihat Saila sebagai perempuan cantik yang pantas untuk menjadi bagian keluarga mereka? Atau melihat Saila sebagai salah satu dari perempuan-perempuan yang silau dengan mobil Jaguar Mas Didit?

Apalagi Mas Didit belum bilang apa-apa soal cinta…

Selesai mengatur rambutnya, Saila mulai menyemprotkan minyak wangi ke belakang telinga dan pergelangan tangannya. Dia sudah siap berangkat dan mulai menganggap ‘masa bodoh’ akan penilaian keluarga Mas Didit nanti. Toh Saila sendiri masih belum meyakini kalau lelaki ini adalah orang yang tepat. Meskipun tentu saja, ada dua orang yang pasti akan membencinya habis-habisan. Sahabatnya, Monita. Dan ‘ibunya’, Mbok Darmi.

Ah, sudahlah. Jalani saja hari ini.

Saila sedang beranjak dari kursi dan mulai melangkah ke luar kamar, ketika ponselnya berbunyi lagi. Dengan cepat, dia segera menjawab teleponnya.

“Apa lagi, sih, Mon? Belum juga berangkat, sudah ditanyain!” semprot Saila.

“… nggg… Mbak, ini aku, Ibnu.”

Saila merasa sangat bodoh karena tadi langsung asal semprot tanpa melihat siapa yang menelepon, padahal jelas-jelas yang muncul adalah ‘Ibnu’ bukan ‘Cewek Ganjen’.

“Ampun, Nu, aku kira si Monita…”

“Makanya bikin ring tone khusus buat aku, dong, Mbak, biar nggak salah semprot…”

“Kamu ini… Apa kabar, Ibnu?”

“Jelek, Mbak. Kangen Mbak Saila terus, sih…”

“Hus, hus. Jangan begitu, dong, Nu, Mbak jadi nggak enak, nih…” Meskipun aku juga kangen sekali sama kamu, Dek…

“Kayaknya Mbak mau pergi, ya?”

“Kok tahu, Nu?”

“Iya, kan? Tadi, kan, Mbak bilang mau berangkat, gitu. Mau kemana, sih, Mbak? Sama siapa? Mbak Nita?”

“…. Iya. Sama Nita”

“Oh…untung sama Mbak Nita, karena kalau perginya sama laki-laki…”

“Kenapa kalau sama laki-laki?”

“Aku akan pulang ke Surabaya dan bilang sama laki-laki yang pergi sama Mbak Saila kalau dia pergi sama pacar orang…”

“…”

“Ya sudah, deh, Mbak. Salam ya, buat Mbak Nita.”

“Iya, Nu…”

“Baik-baik, ya, Mbak… Miss you…”

Sesaat setelah menutup telepon, hatinya mulai meradang. Sekilas dia melihat pantulan wajahnya sendiri di depan cermin yang tergantung di pintu kamarnya.

Itukah wajah perempuan bahagia yang telah menemukan lelaki baik?

Itukah wajah perempuan yang akhirnya bisa berkata, “Aku nggak salah pilih” dan “Nggak bersalah karena berbohong pada seseorang yang sayang banget padaku”?

Atau itukah wajah desperate yang menganggap lelaki paling potensial harus segera ditangkap tanpa perlu melakukan analisa lagi?

Perasaannya pada Ibnu membuatnya ingin berkata pada Mbok Darmi kalau mendadak ia merasa tidak enak badan…

Ibnu… Mbak minta maaf, ya…

No comments:

Post a Comment