Sunday, July 5, 2009

-4-

Saila tidak pernah mencium Ibnu, meskipun setiap melihatnya, rasa afeksi perempuan ini seperti ingin segera dimanjakan. Tidak sekali dua kali dia mengimajinasikan lembut bibir Ibnu di atas bibirnya, tapi juga tidak sekali dua kali akhirnya dia berkata dalam hati, “Jangan, Saila, nanti perasaan kamu makin dalam buat dia…”

Setahun dekat dengan Ibnu telah mengaduk-aduk perasaannya. Mulai dari perasaan senang karena akhirnya dia bisa menganggap masih ada ketulusan cinta di era digital ini sekaligus perasaan ketakutan karena ditinggalkan.

Perbedaan umurnya dengan Ibnu yang sangat jauh telah menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan. Cinta yang tertahan, rindu yang sekejab datang lalu hilang, dan ingin mencintai tapi ia yakin Ibnu bukanlah “The One”.

“Tapi aku yakin, Mbak Saila orang yang aku cari…” kata Ibnu suatu hari. Lebih tepatnya, hari terakhir Ibnu kerja magang di kantornya.

“Nu, jangan bercanda, ah. Nggak lucu, tahu.”

“Ini bukan bercanda, Mbak, tapi aku serius. Aku melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat Mbak berbeda daripada perempuan lain…”

“Jelas beda, dong, Nu. Mereka, kan, masih anak kuliahan, sementara aku? Lihat. Aku sudah tiga delapan. Pasti, lah, banyak bedanya. Aku, kan, jauh lebih tua daripada mereka.”

“Mbak.... Please. Beri aku kesempatan.”

Untuk membiarkan hatiku berharap akan ada keajaiban sekali lagi dan setelah itu membiarkan kamu melukai hatiku? Terima kasih, Nu, tapi maaf, bukan begitu caranya.

“Ibnu, aku yang harus bilang ‘please’ ke kamu, karena… aduh… gimana, ya, Nu, harusnya kamu tahu kalau kita ini…”

“Mbak, aku tahu, Mbak Saila pasti mikir yang aneh-aneh dan punya pendapat lain soal aku, tapi Mbak… bisa nggak, sih, sedikit saja, Mbak Saila membuka hati supaya bisa melihat gimana sebenarnya aku?”

Saila tidak memberinya kesempatan, tapi diam-diam, setahun belakangan ini dia melihat ‘seperti apa sebenarnya’ seorang Ibnu. Usianya memang masih muda, baru menginjak dua puluh tahun, tapi pemikirannya, jauh lebih dewasa daripada ‘si Keset’ Biyan. Tidak pernah sekalipun Saila dibuatnya menangis. Tidak pernah kulit Saila terluka meskipun karena goresan kuku yang tidak sengaja. Ibnu menjaganya seperti porselin Cina yang antik, langka, dan perlu perlakuan khusus. Karena Ibnu tahu benar kalau seorang Saila pernah terluka karena so called cinta…

Hm. Cinta.

Terakhir ia tahu seperti apa cinta adalah ketika terakhir Biyan memutuskan untuk meninggalkannya, demi perempuan lain, yang sayangnya adalah sahabatnya sendiri. Setelah delapan tahun pacaran, setahun bertunangan, dan dua bulan menjelang pernikahannya, tiba-tiba Biyan memutuskan untuk menyakiti Saila dengan mengatakan, “Aku nggak bisa meneruskan rencana kita, Saila. Aku nggak bisa menikah sama kamu. Percuma saja kalau aku meneruskan pernikahan ini tapi hatiku sudah dimiliki orang lain dan aku sudah nggak memikirkan kamu lagi…”

Saat itu Saila terdiam. Memandang Biyan sampai tak bisa berkata-kata, seperti seorang yang takjub karena melihat si bisu bisa berbicara. Biyan dengan tutur kata yang lancar mulai melanjutkan kalimatnya lagi, kalimat yang tentu saja akan selalu diingat dalam hati kecil Saila yang masih memerah basah.

Kalimat yang sederhana. Kalimat ini.

“Sai, aku jatuh cinta sama Nyna…”

Seperti pukulan yang mematikan dan membuatnya terjatuh, terduduk, tanpa bisa melakukan reaksi apa-apa. Seperti strike 3 di pertandingan baseball. Pertama, kenyataan bahwa Biyan tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Kedua, karena dia telah memikirkan orang lain selain dirinya. Yang terakhir, dan paling menyedihkan, adalah… lelaki paling agung, paling dicintainya, paling dibanggakannya, selama sembilan tahun dalam hidupnya, telah jatuh cinta pada Nyna! Sahabatnya sendiri!

“Jangan marah, ya, Sai? Ini bukan salah Nyna, tapi salahku…”

Saila masih terdiam.

“Saila, aku…”

“Kalian sudah pacaran?” potong Saila dengan suara terbata-bata dan air mata yang merebak tanpa kendali.

Biyan mengangguk. Dengan tegas. Seakan-akan berkata, “Ya, lantas kenapa?”

Mendoakan mereka berbahagia adalah hal terakhir yang ingin Saila lakukan, sehingga dia memilih untuk pergi begitu saja dari hadapan Biyan dan memutus semua cara untuk bisa berkomunikasi dengan mantan tunangannya itu. Dia menjual rumah hasil jerih payahnya, yang semula akan menjadi tempat bernaung dirinya dan Biyan serta anak-anak mereka berdua, lalu membeli rumah baru. Dia membuang sim card lamanya lalu mengganti dengan nomor baru. Dia hanya tidak pernah pindah dari kantornya, karena dia tahu, kantor adalah tempatnya yang paling aman setelah semua perbuatan buruknya yang tersebar ke seluruh karyawan di kantornya.

Kejadian itu sudah dua belas tahun yang lalu, tapi pedihnya masih terasa sampai detik ini, masih mengilukan tulang-tulangnya dan hampir membuatnya philophobia, trauma terhadap cinta.

Tapi sejak setahun yang lalu, trauma itu mulai meluntur dan malah menunjukkan warna sejatinya.

Karena ia bertemu dengan Ibnu.

Lelaki yang selalu dia inginkan berusia, paling tidak, tiga puluh lima tahun…

No comments:

Post a Comment