Sunday, July 5, 2009

-13-

Ulang tahunnya yang ke-41. Dan dia memilih untuk merayakannya sendiri, bersama Mbok Darmi tentunya. Hari ini Mbok Darmi membuatnya bubur merah putih, seperti kebiasaan orang-orang Jawa saat mereka merayakan sesuatu, untuk mendoakan keselamatannya.

“Mbok, aku tidur dulu, ya? Besok kalau aku belum bangun-bangun juga, tolong digedor aja pintunya, okay?” Saila pamit ke kamar setelah makan dua mangkuk bubur merah putih dan mendapat ciuman sayang dari ibu keduanya itu.

Saila sedang tertidur lelap di atas ranjangnya ketika ia mendengar suara ketukan di pintunya dan suara Mbok Darmi dari balik pintu.

“Non… Non Saila…”

Saila mengerjap-erjapkan matanya. Masa, sih, dia baru tidur sebentar tapi hari sudah pagi? Nyenyak sekali tidurku… Saila melirik jam dindingnya lalu merasa heran. Sekarang baru pukul dua belas kurang. Artinya, Mbok Darmi mengetuk bukan untuk membangunkannya karena hari sudah siang!

“Khhheee…naapppaaa.. mmbbboookk…” tanya Saila sambil menguap.

“Mmm… ada tamu, Non.”

“Tamu? Siapa, Mbok? Aku ngantuk, nih… Bilang aku sudah tidur, deh. Aku nggak minat terima tamu semalam ini…”

“Tapi, Non… dia maksa…”

“Siapa yang berani maksa untuk ketemu malam-malam begini, Mbok?? Cuman orang kurang ajar yang…”

“Aku, Mbak. Aku yang kurang ajar ingin ketemu sama kamu semalam ini.”

Tiba-tiba Saila mendengar suara Ibnu di balik pintu dan membuatnya mencubit lengannya sendiri untuk meyakinkan dirinya kalau semua ini hanya mimpi. Begitu lengannya terasa sakit, baru dia merasa yakin kalau tadi benar-benar suara Ibnu!! Segera dia membuka pintu dan melihat lelaki tampan itu berdiri di sana, dengan pandangan kangen yang meletup-letup.

“Ibnu…? Kenapa kamu ke sini?” Suara Saila bergetar.

“Aku hanya memenuhi janjiku, Mbak. Dan aku nggak peduli, apapun yang terjadi, aku tetap harus melakukannya.” Ibnu menggenggam tangannya. Saila merasa hatinya semakin berdebar. “Mbak… sebetulnya, saat terakhir aku ke rumah ini, aku sudah berencana untuk bilang sama Mbak Saila kalau aku…. Mmm… aku sangat sayang sama Mbak Saila dan berharap Mbak Saila menjadi istriku….”

“Nu…”

“Mbak, tolong, untuk sekali ini, biarkan aku selesai bicara, ya?” Ibnu memotong kalimat Saila lalu melanjutkan kembali. “Saat itu Mbak Saila nggak memberi aku kesempatan untuk bilang kalau Ibu dan Bapak mau menerima keadaan kita… apapun itu. Mereka nggak peduli berapa umur Mbak Saila atau apapun latar belakang Mbak Saila. Selama aku bahagia dengan pilihanku, mereka juga bahagia, Mbak.”

“…”

“Saat itu aku berjanji untuk meminta Mbak jadi istriku setelah aku lulus kuliah dan menjadi karyawan tetap dengan gaji yang lumayan, apapun kondisi Mbak Saila saat itu, meskipun Mbak sudah menikah atau sedang bersama orang lain…” Ibnu memandangnya dengan sayang dan mempererat genggamannya. “Dan, Mbak… aku sudah lulus dan… sekarang aku bukan anak kuliahan lagi, tapi sudah menjadi staf tetap di biro hukum.”

Saila seperti tak bisa bernafas.

“Artinya… aku kemari, untuk memenuhi janjiku.” Ibnu merogoh sesuatu di dalam kantong celananya dan mengeluarkan cincin putih bermata satu lalu berlutut di depan Saila.

“Saila Retnani, maukah kamu menjadi istriku?”

No comments:

Post a Comment