Sunday, July 5, 2009

-5-

“Orang-orang itu memang keterlaluan, ya, Sai?” Monita yang sibuk mengingatkan Saila lagi pada kekesalan hatinya. “Apa, sih, urusan mereka?”

Saila tersenyum. “Mungkin mereka care sama aku, Mon, tapi caranya yang salah…”

“Yeee… perhatian gimana? Sai, Sai, yang namanya perhatian, tuh, mencari pasangan buat kamu, bukannya menggosip yang nggak-nggak! Huh, bikin kesel aja!”

“Sudah, lah, Mon, percuma kamu kesal sama mereka, toh mereka nggak pernah bisa berubah, kan? Aku, sih, sudah kebal sama mereka, Mon. Mungkin karena ini sudah gosip yang kesekian kalinya, jadi lama-lama badanku punya imun…”

Monita terlihat serius lalu menyerah setelah melihat Saila bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Sai, tapi yang paling penting… kamu baik-baik aja, kan?”

“Apa? Aku?” Saila menyentuh tangan Monita. “Mon, Mon. Kamu tahu, kan? Hatiku sudah terlalu capek untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Kamu pasti ingat gimana Biyan sudah menghabiskan seluruh kepedulianku, kan? Jadi, jangan khawatir, deh. Aku nggak sakit hati, kok…”

“Sai… jangan bohong, deh.”

“Hei, bohong sama kamu itu dosanya sama kalau aku bohong sama ibuku sendiri, Monita,” balas Saila sambil tersenyum.

“Tapi, Sai…”

“Apa lagi?”

“Mm… kamu yakin kamu nggak tersinggung dengan kata-kata mereka?”

Wajah bulat telur Saila menggeleng. “Nggak, tuh. Kenapa harus tersinggung, sih, Mon? Pekerjaan utama mereka di kantor, kan, memang cuman untuk bergosip, jadi buat apa aku susah payah mikir? Betul, kan?”

“Iya, sih…”

“Ya, sudah. Terus, apa?”

“Mm… I couldn’t help but wonder, Sai. Kalau memang Brondong bukan buat obyek seks semata, lantas, dia itu ‘apa’?”

Pertanyaan itu menyesak lagi.

*

Saila duduk di kamar mandi, di atas penutup toilet, dan membakar ujung rokoknya lalu menghisap perlahan, dengan wajah Ibnu terbayang sempurna di depan matanya. Sudah setahun belakangan ini, sejak Ibnu mengatakan, “Lucu, ya, Mbak? Di saat orang-orang berebut cari pengobatan alternatif atau malah pergi ke luar negeri mencari cara supaya tetap sehat, Mbak Saila malah mempercepat proses kematian…”

Betapa dewasanya seorang Ibnu. Betapa piciknya pikiran Saila ketika berlari dari kenyataan dengan menyesakkan asap ke paru-parunya. Ibnu adalah lelaki dewasa di dalam seorang anak kecil yang seakan tidak mengerti apa-apa, tapi sesungguhnya, dia mengerti hampir segalanya.

Mengerti bagaimana menyenangkan hati Saila, mengerti caranya untuk membuat Saila tertawa, tahu bagaimana Saila ingin selalu bersandar di hatinya, mengerti bahwa Saila telah menciptakan batasan-batasan penuh ranjau di sekitar hatinya, padahal perempuan itu sangat membutuhkannya.

Di dalam tubuh perempuan setegar Saila, dengan kemasan yang berlabel ‘manager-yang-baik-baik-saja-tanpa-lelaki’, tetap ada seorang perempuan kecil yang terluka hatinya, yang ingin dicintai, yang haus akan perasaan dibutuhkan oleh orang yang dicintainya, dan seorang perempuan yang tidak ingin terluka lagi karena setelah sembilan tahun yang sia-sia itu, dia mulai meragukan kebiasaannya untuk tidak akan pernah ditinggalkan.

Saila menghisap rokoknya sekali lagi. Setiap kali kepulan asap mulai mengotori paru-parunya, sebetulnya dia merasa bersalah pada Ibnu, juga pada dirinya sendiri. Apa kata Ibnu nanti kalau dia tahu Saila kembali merokok. Dia akan meninggalkan Saila? Seperti lelaki brengsek satu itu? Setelah hatinya megap-megap karena penuh oleh cinta…

“Mbak, kalau saja aku tahu seperti apa tampang cowok kurang ajar itu, pasti aku akan meremukkan dia dengan tangan-tanganku ini…”

Itu kata-kata Ibnu saat mereka makan di pinggir jalan, yang ternyata adalah tempat sejuta kenangannya bersama Biyan, dan membuat Saila tiba-tiba menitikkan air matanya.

“Nu, aku nggak mau kamu masuk penjara cuman karena lelaki seperti Biyan.”

“Biar, aku, sih, nggak peduli, Mbak. Aku rela melakukan apa aja, asal Mbak Saila bisa berhenti menangis setiap ingat dia!”

Saila tahu, Ibnu means every word. Dia bukan tipe lelaki yang mudah mengobral janji dan memberikan kalimat-kalimat yang hanya sekedar bisa menenangkan hatinya, tanpa penunjukan efek visual. Baginya, setiap kata-kata adalah doa, setiap kata-kata pantang keluar untuk sia-sia.

Seperti kata-kata dia sangat mencintai Saila dan menganggap perempuan hampir seumuran ibunya adalah persembahan terindah dari Surga…

“Non Saila…”

Saat asyik merokok sambil terseret sebentar ke masa lalu, Mbok Darmi mengetuk pintu kamar mandinya.

“Ya, Mbok? Ada apa?” Saila membuka pintu kamar mandinya setelah menekan ujung rokoknya lalu melemparnya ke dalam tong sampah kecil di sudut sambil menyemprotkan pengharum ruangan.

Ada yang mencari Non Saila. Perempuan.”

Perempuan? “Monita, ya, Mbok?” Tanya Saila sambil duduk di atas ranjangnya dan merebahkan tubuhnya untuk ‘memanjangkan’ kakinya.

“Bukan, Non, bukan Non Monita. Yang ini Mbok nggak kenal, Non. Sepertinya, sih, dia belum pernah ke sini…”

“Bukan sales, kan, Mbok? Aku lagi malas, nih, ketemu sama mereka…” Membayangkan Sabtu pagi yang cerah seperti ini, rasanya akan sangat sia-sia kalau menghabiskan beberapa jam hanya untuk mendengar keunggulan produk anu-itu dibandingkan produk-produk sejenis lainnya. Jangan hari ini, deh.

“Bukan, Non. Katanya, sih, teman lama…”

Kata-kata Mbok Darmi membuat Saila meninggikan ‘antena’nya. Teman lama? Belum pernah ke sini? Hm…

“Perempuan, kan, Mbok?” Saila menegaskan sekali lagi untuk merasa yakin kalau bukan Biyan yang datang. Tapi rasanya Mbok Darmi tidak akan pernah melupakan wajah Biyan, karena dia hafal setiap senti wajah lelaki yang ahli membuat Nona-nya menangis. Dia sendiri yang mengelus-elus rambut Saila sampai tertidur dengan air mata yang berkilat karena timpaan cahaya lampu. Dia juga yang membuatkan bubur ayam supaya paling tidak Saila mau memasukkan sedikit makanan di perutnya. Jadi, kalau sampai Mbok Darmi membiarkan Biyan masuk ke rumah, berarti sama saja dia menyakiti Nona yang telah dianggapnya sebagai anak sendiri.

“Iya, Non, perempuan. Cantik.”

“Mmm… tapi dia sudah masuk ke rumah, ya?”

“Sudah, Non, tapi Mbok suruh menunggu di teras depan.”

“Mmm, ya, sudah, deh, Mbok. Aku mau ganti baju dulu, baru aku keluar, okay?”

Mbok Darmi tersenyum lalu keluar dari kamarnya. Sambil memilih-milih baju, Saila mulai melakukan aksi ‘Sherlock Holmes’nya. Siapa kira-kira perempuan itu, ya? Katanya teman lama, terus… cantik juga. Siapa yang nekat disebut cantik oleh Mbok Darmi, ya?

Saila terkekeh sendiri. Ingat reputasinya yang not bad saat masih menginjak bangku sekolah dan kuliah. Satu-satunya perempuan cantik dengan otak, itu kata-kata setiap lelaki yang mengenal dia. Setiap mengingat hal itu, pasti membuat Saila langsung merasa ‘senang-tapi-malu-banget-untuk-mengakui’. Ya, perempuan mana, sih, yang dengan teganya merasa biasa-biasa saja kalau mengetahui dia termasuk golongan perempuan yang sangat digilai laki-laki?

Rasanya itu normal sekali untuk merasa senang. Dan cukup normal untuk membuatnya merasa sangat berbeda dengan perempuan lain.

Akhirnya Saila memilih kaus pas badan warna pink, warna favoritnya, dengan celana denim selutut. Rambut keritingnya masih basah dan hanya ia rapikan dengan sisir bergigi jarang. Setelah yakin kalau ia sudah tampil cukup cantik dan wangi, dia keluar dari kamar.

Siapapun dia, jangan sampai aku terlihat lebih jelek…

Saila berjalan ke ruang tamu, tapi ketika tangannya menyibak korden pembatas ruang tamu dengan ruang makan, dia dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang memancing air matanya.

Dia melihat…

Ibnu.

Dengan kue tar di tangannya dan satu batang lilin pendek di atasnya, juga dengan Mbok Darmi yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum bahagia. Entah karena kejutan ini, atau bangga karena berhasil membuat Saila tidak curiga.

Ya, Tuhan…

Aku lupa hari bahagiaku sendiri…

No comments:

Post a Comment